Pernah waktu itu gue terbang dengan seorang kapten senior, beliau membawakan gue makan siang yang adalah makanan khas daerah tempat tinggalnya. “Ayo, makan ya, lo harus makan yang banyak,” ucap beliau sambil mengorek-ngorek plastik kresek merah muda yang baru saja ia keluarkan dari tas terbangnya. “Nih,” sodor dia kasar. Sebungkus nasi layaknya nasi rames khas warung-warung yang dibentuk menyerupai piramida dengan kertas minyak berwarna coklatnya.
“Ini namanya Nasi Krawu asli dari Gresik, gue bawa soalnya habis pulang kampung. Ada yang nasinya satu, ada yang nasinya setengah. Nah, lo yang nasinya satu aja, ya. Biar kenyang,” ucap beliau. Gue mendapat giliran makan duluan. Nanti setelah gue selesai, gantian gilirannya beliau makan. Haram hukumnya untuk makan berbarengan saat terbang, tuh, karena harus ada salah satu dari kedua penerbang yang pandangannya selalu terjaga, dalam artian ia harus terus memonitor situasi dan kondisi penerbangan tersebut ketika yang satunya lagi sedang mengerjakan hal lain. Jadilah gue membuka bungkusan nasi itu dengan semangat 45.
Gue disambut dengan sosok cantik butiran nasi yang pulen berhiaskan suwiran dendeng berwarna coklat di sampingnya dan tumpukan serundeng kelapa dengan dua warna yang berbeda, yaitu kuning dan jingga. Presentasi nasi bungkusnya sangat sederhana, namun memikat. Lalu, di balik semua lauk pauk itu, ada satu lapis daun pisang yang ternyata adalah wadah sambal terasi yang harumnya menusuk hidung. Amis dan pedas, tapi berhasil membuat gue ngiler seketika. “Kapten, saya makan duluan, ya” ucap gue meminta izin. Beliau mengangguk singkat.
Nasi bungkus kayak begini nggak bakal nendang kalau kalian makannya pakai sendok garpu. Sudah pasti harus tangan, dong. Untungnya di pesawat kami tersedia beberapa sarung tangan plastik yang bisa digunakan untuk menyantap makanan, jadilah gue minta beberapa lembar untuk gue dan kapten gue kepada senior pramugari yang bertugas hari itu. Tanpa pikir panjang mengenai program diet gue yang pastinya gagal karena gue ketemu nasi, gue mengambil sejumput dari masing-masing bahan pangan yang ada di dalam kertas bungkus itu dan menjadikannya satu gumpalan di tangan gue. Berdoa dulu sebentar. Kemudian suap..
“Astaga, enak banget.”
Mungkin karena gue udah terlalu lama nggak makan nasi, jadi pas ketemu nasi rasanya nikmat bahagia banget. Nasinya nggak kering, tapi juga nggak terlalu lembek. Tekstur yang empuk berpadu dengan sedikit rasa manis, menjadikan nasi itu nasi terenak yang gue santap selama seminggu terakhir. Suwiran dendengnya agak terlalu manis, bahkan untuk gue yang doyan banget makanan manis. Untungnya ada si serundeng gurih yang bisa menetralkan rasa manisnya, jadi gue cukuo terbantu. Sambalnya, meskipun pedasnys tajam dan rasa bawangnya cenderung ngotot, didominasi oleh rasa manis juga, jadi hanya sedikit saja yang gue tambahkan ke dalam suapan-suapan gue.
Seandainya gue bisa menikmati Nasi Krawu tersebut agak lebih lama, gue akan senang sekali. Tapi, kapten gue juga perlu makan, jadinya gue habiskan jatah nasi bungkus gue dalam kurun waktu 10 menitan.
Setelah kenyang, datanglah masalah baru.. ngantuk.
No comments:
Post a Comment