Saturday, April 15, 2017

Cerita (Nggak Diajak) Ngampung

Dulu, jamannya masih hidup di barak, kadang kalau lagi bosen, gue suka kabur malam-malam dengan kawan-kawan gue. Kadang gue orangnya cukup prosedur, taat peraturan maksudnya, tapi cuek-nya gue lebih besar ketimbang ketakutan gue untuk dihukum. Gue lebih pingin bersenang-senang, meskipun ada kemungkinan buruk yang bisa terjadi kedepannya, ketimbang nggak ngapa-ngapain karena takut. Akhirnya, ada suatu masa di mana gue sering banget lompat tembok barak dan kabur ke tempat hiburan terdekat. Kita, para taruna, nyebutnya "ngampung".

Ngampung ini udah ada dari jaman Bapak gue jadi taruna, dulu banget sekitar tahun 1980-an. Ada yang bilang ngampung, ada juga yang bilang "ngota", yang arti kasarnya adalah main ke kampung, atau ke kota. Sederhananya, kita kabur dari barak untuk cari hiburan.

Hiburan bagi gue saat itu adalah, nggak kurang dan nggak lebih dari, jalan dan jajan. Gue diajak ngampung buat beli martabak aja udah seneng, apalagi waktu itu sering diajak ngampung ke Enigma. Enigma itu adalah semacam tempat nongkrong di Serpong - bisa makan, bisa mimik-mimik cantik, bisa juga main billiard - cuma sekitar setengah jam perjalanan pakai kendaraan sewaan dari barak.

Dalam hal ngampung, gue hanya sebagai profokator pada siang hari, yang tugasnya manas-manasin kawan-kawan gue dengan, "Eh, ngampung, yuk!" atau "Aduh, pingin martabak, deh." Masalah jadi ngampung atau nggaknya tergantung inisiatif yang lain, pada mau gerak, atau pada males. Biasanya gue selalu dikabarin sahabat gue kalau jadi jalan. "Ket, ikut ngampung, nggak," katanya. Gue akan ngampung kalau dia ngajak, tapi nggak pernah gue inisiatif ngampung sendiri, kecuali waktu itu saat gue dan teman-teman barak gue ngidam banget makan pizza dan akhirnya gue nekad kabur berduaan naik motor demi beli dua loyang Pizza Hut. Dedikasi tanpa batas!

Pernah suatu kali, gue nggak diajak ngampung, entah alasannya kenapa. Sedih, dong, rasanya kayak didepak dari geng, padahal mungkin dia cuma lupa ngajak aja. I have this tendency to overthink stuff and take something way far more serious than it should be, but I forced myself not to dan pura-pura nitip martabak sebagai oleh-oleh. "Mau martabak, hehehe," kata gue manja dan dibalas dengan, "Mahal, ngapain juga beliin lo martabak." Rasanya pingin nyebur ke sawah sebelah barak.

Berhubung barak gue difasilitasi dengan modem wifi.id, jadilah gue begadang berduaan dengan laptop, sementara dua teman barak gue udah pada di dunia mimpi masing-masing. Tiba-tiba gue dapat LINE call dari salah satu kawan gue, menginstruksikan gue untuk ke koridor barak. "Ket, koridor bentar, dah," katanya.

"Ngapain, Pin" tanya gue.

"Dibawain martabak nih sama si Puki," balasnya.


Wah, langsung lupa diri. Gue mencolot dari kasur, buru-buru pakai celana training dan kaos olahraga, dan meluncur ke koridor barak. Waktu itu belum ada CCTV, jadi taruna masih bebas berkeliaran diatas jam tidur. Kalau sekarang, mah, udah lebih ketat.

Bener, dong, gue dibawain martabak. Pertama dan terakhir kalinya. Dan gue sekaget itu karena gue tau betapa meditnya sahabat gue yang satu itu (baca cerita gue yang ini, deh). Seketika langsung seneng. Setelah gue terima kotak martabaknya, gue balik ke barak, dan bangunin teman-teman gue.

"Wey, martabak, nih," teriak gue.

Ngemil, deh. Abis itu ngantuk. Kemudian tidur nyenyak.



Bagi gue, orang yang paling baik di dunia adalah orang yang ngasih gue makanan. And, boy, you're one and always have been. 

No comments:

Post a Comment