Hari ini gue terbang dengan kapten yang lebih rela nggak sampai destinasi lebih awal demi menghindari awan besar yang membentang sepanjang ratusan kilometer, panjang atas bawah dan kiri kanan. Dari airways yang kami lalui, kami sampai harus menghindar 90 kilometer jauhnya demi nggak menabrak awan tersebut. Itu kami hanya kena serempetan buntut awannya saja, tapi goyangannya cukup terasa. Gue sampe berhenti makanin kacang saking tegangnya pegangan sama dashboard.
Sebenarnya kami punya beberapa pilihan lain selain menghindar, yaitu naik ke flight level yang lebih tinggi, atau mantengin airways kami dengan resiko ayan masal, baik flight crew dan tamu kami yang terhormat, selama 15 menit gara-gara pesawat kena goncang. Sayangnya, flight level lainnya sudah diambil oleh pesawat lain dan pilihan kedua, kalau beneran dilakuin, adalah pilihan yang bodoh. Alhasil, gue dan kapten setuju untuk menghindari awan saja. Jauh nggak apa-apa, yang penting nggak sport jantung.
Awan itu, meskipun dari daratan dan dari jendela pesawat kelihatannya cantik dan menggemaskan, sebenarnya berbahaya. Ada tingkatan-tingkatan bahayanya, tergantung jenis awannya seperti apa. Gue akan menjelaskan secara singkat di sini bukan dengan bahasa penerbangan supaya kalian, yang gue heran kenapa sedang baca blog post gue yang ini, bisa mengerti. Yuk, simak.
Awan putih yang kelihatan tebal seperti bulu domba ternyata nggak seempuk yang kalian bayangkan. Awan itu berisi muatan air yang sangat-sangat berat sampai kalau sayap pesawat gue nyerempet sedikit saja dari gumpalan uap itu, pesawat gue akan berguncang sangat dahsyat. Pada saat itu, mungkin tanda sabuk pengaman yang ada di langit-langit pesawat sudah menyala dan penggunaan kamar kecil tidak disarankan. Pada saat itu juga gue tengah mencengkram pinggiran dashboard dengan tangan kanan gue, sementara tangan kiri gue sibuk mengatur kecepatan pesawat dengan FCU (kependekan dari Flight Control Unit, yang adalah deretan tombol untuk mengatur beberapa hal dalam pesawat, termasuk kecepatannya). Keringat gue sudah pasti bercucuran dan kemungkinan besar gue menjeritkan, "TUHAN YESUS PIMPIN. TUHAN YESUS PIMPIN," dalam hati.
Di pesawat gue, ada enam buah monitor yang gue pakai dalam penerbangan, salah satunya berguna untuk memantau awan. Monitor ini dinamakan ND (Navigation Display) dan ia bekerja sama dengan weather radar yang terpasang di radome (sebutan dalam dunia aviasi untuk bagian hidung pesawat, atau bagian "moncong"). Weather radar bisa mendeteksi tingkat presipitasi air pada udara, atau bahasa yang lebih gampangnya adalah uap air, yang kemudian dipresentasikan di ND dalam corak abstrak berwarna hijau, kuning, merah, dan magenta. Yang barusan gue sebutin adalah warna untuk tingkatan uap air dari rendah ke tinggi. Semakin tinggi kandungan air, semakin bahaya pula apabila pesawat masuk ke dalamnya.
Selama masa pendidikan, gue selalu diajarkan untuk tidak masuk awan. Setiap ada awan, menghindar. Lihat dulu situasinya, pantau melalui jendela secara visual dan pantau juga dengan weather radar. Apabila awan itu kelihatan tipis dan tidak akan menyebabkan guncangan yang terlaly kencang, nggak apa-apa kalau mau ditrabas. Tapi, kalau di monitor sudah ada warna kuning dan merah, apalagi magenta, dan saat dilihat secara visual awannya berwarna putih mengkilap dan solid bak tembok, mending cepet-cepet menghindar sebelum berabe.
Sampai di sini nggak terlalu bingung, kan? Penjelasan mengenai awan cukup sampai di sini ya, kita kembali lagi ke cerita terbang gue hari ini.
Nah, siang tadi, dalam perjalanan gue pulang ke Surabaya dari Kuala Lumpur, ada suatu area di atas Laut Jawa yang tertutup dengan awan. Awan itu sangat-sangat besar dan panjang membentang dari kiri ke kanan. Ibarat sedang main galasin dengan awan, pesawat gue harus menghindar dari hadangan awan-awan jahat itu untuk bisa menang, dan menang di sini adalah sampai tujuan dengan selamat sentosa (mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu kemerdekaan negara Indonesia, eh ini mah Pembukaan UUD 1945).
Sayangnya, ada beberapa kapten yang rela menerobos gumpalan-gumpalan awan itu demi sampai ke tujuan lebih cepat. Kalau gue dipasangkan dengan kapten bermental seperti itu, selain memberi saran untuk menghindari awan bagaimanapun caranya, gue akan tegang sepanjang perjalanan menembus awan, dengan keringat bercucuran (padahal di cockpit itu dingin, lho), kedua tangan berpegang pada dashboard, sambil menjeritkan doa dalam hati, "TUHAN YESUS PIMPIN.".
Untungnya, partner terbang gue hari ini cukup sehati dengan gue. Kami berdua sama-sama berpikiran untuk menghindari awan. Alhasil, penerbangan terakhir gue siang tadi berjalan dengan lancar. Hati tenang, perut kenyang, tidur pun tenang.
Sebenarnya kami punya beberapa pilihan lain selain menghindar, yaitu naik ke flight level yang lebih tinggi, atau mantengin airways kami dengan resiko ayan masal, baik flight crew dan tamu kami yang terhormat, selama 15 menit gara-gara pesawat kena goncang. Sayangnya, flight level lainnya sudah diambil oleh pesawat lain dan pilihan kedua, kalau beneran dilakuin, adalah pilihan yang bodoh. Alhasil, gue dan kapten setuju untuk menghindari awan saja. Jauh nggak apa-apa, yang penting nggak sport jantung.
Awan itu, meskipun dari daratan dan dari jendela pesawat kelihatannya cantik dan menggemaskan, sebenarnya berbahaya. Ada tingkatan-tingkatan bahayanya, tergantung jenis awannya seperti apa. Gue akan menjelaskan secara singkat di sini bukan dengan bahasa penerbangan supaya kalian, yang gue heran kenapa sedang baca blog post gue yang ini, bisa mengerti. Yuk, simak.
Cantik, tapi mematikan. |
Awan putih yang kelihatan tebal seperti bulu domba ternyata nggak seempuk yang kalian bayangkan. Awan itu berisi muatan air yang sangat-sangat berat sampai kalau sayap pesawat gue nyerempet sedikit saja dari gumpalan uap itu, pesawat gue akan berguncang sangat dahsyat. Pada saat itu, mungkin tanda sabuk pengaman yang ada di langit-langit pesawat sudah menyala dan penggunaan kamar kecil tidak disarankan. Pada saat itu juga gue tengah mencengkram pinggiran dashboard dengan tangan kanan gue, sementara tangan kiri gue sibuk mengatur kecepatan pesawat dengan FCU (kependekan dari Flight Control Unit, yang adalah deretan tombol untuk mengatur beberapa hal dalam pesawat, termasuk kecepatannya). Keringat gue sudah pasti bercucuran dan kemungkinan besar gue menjeritkan, "TUHAN YESUS PIMPIN. TUHAN YESUS PIMPIN," dalam hati.
Di pesawat gue, ada enam buah monitor yang gue pakai dalam penerbangan, salah satunya berguna untuk memantau awan. Monitor ini dinamakan ND (Navigation Display) dan ia bekerja sama dengan weather radar yang terpasang di radome (sebutan dalam dunia aviasi untuk bagian hidung pesawat, atau bagian "moncong"). Weather radar bisa mendeteksi tingkat presipitasi air pada udara, atau bahasa yang lebih gampangnya adalah uap air, yang kemudian dipresentasikan di ND dalam corak abstrak berwarna hijau, kuning, merah, dan magenta. Yang barusan gue sebutin adalah warna untuk tingkatan uap air dari rendah ke tinggi. Semakin tinggi kandungan air, semakin bahaya pula apabila pesawat masuk ke dalamnya.
Contoh gambaran weather radar pada ND. Gambar diambil dari Google. |
Selama masa pendidikan, gue selalu diajarkan untuk tidak masuk awan. Setiap ada awan, menghindar. Lihat dulu situasinya, pantau melalui jendela secara visual dan pantau juga dengan weather radar. Apabila awan itu kelihatan tipis dan tidak akan menyebabkan guncangan yang terlaly kencang, nggak apa-apa kalau mau ditrabas. Tapi, kalau di monitor sudah ada warna kuning dan merah, apalagi magenta, dan saat dilihat secara visual awannya berwarna putih mengkilap dan solid bak tembok, mending cepet-cepet menghindar sebelum berabe.
Sampai di sini nggak terlalu bingung, kan? Penjelasan mengenai awan cukup sampai di sini ya, kita kembali lagi ke cerita terbang gue hari ini.
Nah, siang tadi, dalam perjalanan gue pulang ke Surabaya dari Kuala Lumpur, ada suatu area di atas Laut Jawa yang tertutup dengan awan. Awan itu sangat-sangat besar dan panjang membentang dari kiri ke kanan. Ibarat sedang main galasin dengan awan, pesawat gue harus menghindar dari hadangan awan-awan jahat itu untuk bisa menang, dan menang di sini adalah sampai tujuan dengan selamat sentosa (mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu kemerdekaan negara Indonesia, eh ini mah Pembukaan UUD 1945).
Jangan dekat-dekat, awannya "galak". |
Sayangnya, ada beberapa kapten yang rela menerobos gumpalan-gumpalan awan itu demi sampai ke tujuan lebih cepat. Kalau gue dipasangkan dengan kapten bermental seperti itu, selain memberi saran untuk menghindari awan bagaimanapun caranya, gue akan tegang sepanjang perjalanan menembus awan, dengan keringat bercucuran (padahal di cockpit itu dingin, lho), kedua tangan berpegang pada dashboard, sambil menjeritkan doa dalam hati, "TUHAN YESUS PIMPIN.".
Untungnya, partner terbang gue hari ini cukup sehati dengan gue. Kami berdua sama-sama berpikiran untuk menghindari awan. Alhasil, penerbangan terakhir gue siang tadi berjalan dengan lancar. Hati tenang, perut kenyang, tidur pun tenang.
No comments:
Post a Comment