Tuesday, April 24, 2018

Terbang Bersama Mas Dede

Di Medan, ada satu pramugara yang baru saja gue kenal beberapa minggu belakang ini. Namanya Mas Dede. Beliau doyan banget masak. Setiap gue terbang bareng Mas Dede, pasti beliau membawa perbekalan yang selalu dia bagi untuk cockpit crew. Seperti contohnya hari ini, gue dibagi es krim dan teri kacang bikinannya. Rezeki memang nggak kemana, ya.






















Es Krim Jagung ini Mas Dede buat dengan bahan dasar jagung dan susu. Gue nggak ngerti gimana caranya itu jagung bisa bertekstur seperti foto yang gue lampirkan di atas, dan rasanya enak banget! Terus, di dalam serutan es krimnya, ada juga butir-butir jagung utuh yang manis dan nikmat banget untuk dikunyah. Manisnya nggak bikin mual dan rasanya segar untuk bisa menyantap es krim di dalam pesawat saat lagi terik-teriknya matahri. Berkat beliau, gue jadi bertekad untuk membuat es krim tanpa karbohidrat dan gula yang bisa gue santap tanpa dosa dalam program diet gue.

Lalu, setelah Es Krim Jagung, gue juga dibagi satu gelas Sambal Teri yang akhirnya menjadi menu makan siang gue karena gue nggak membawa bekal apa-apa selain buah potong gratis dari hotel dan satu buah apel. Rasanya pedas dan manis, tapi lebih dominan manisnya daripada pedasnya. Sepertinya, sih, Mas Dede nggak memakai gula jawa karena manisnya agak beda dengan manis gula jawa. Faktanya begitu, atau guenya aja yang sotoy.

Lepas dari hari ini, beberapa posting yang lalu di Medan, gue dan Kapten Afner pun dibagi satu mangkok penuh Keripik Opak. Tentu saja buatan tangan Mas Dede. Kali itu, gue yang mengambil sendiri dari kotak penyimpanan makanan teman-teman flight attendant di cabin bagian belakang, dan gue kaget pas gue melihat bahwa ternyata Mas Dede membawa satu plastik besar Keripik Opak tersebut. Asli, gue yang awalnya baru ngeliat doang, tanpa sadar, udah ngumpul air liurnya di pangkal lidah.

Keripik Opaknya renyah banget dan manis gurih rasanya. Manisnya selalu nggak membuat gue, ataupun kapten gue, mual. Pedasnya juga bikin nagih dan, tanpa sadar, gue dan kapten nggak berhenti mencomot satu demi satu sampai tiba-tiba, "Yah, Kep, abis!".


Monday, April 23, 2018

Medan, Lagi.

Masih seputar Medan. Mungkin kalau orang Medan yang ke Bekasi, mereka juga akan takjub kali, ya, mengenai betapa banyaknya makanan yang mereka belum pernah coba. Ya, sama, seperti gue sekarang ini. Masih getol-getolnya pingin nyobain makanan ini itu di Medan. Ini aja belum di kota Medannya langsung, masih di sekitar Kuala Namu. Apa jadinya kalau gue ketemu Ucok Durian dan kawan-kawannya?

Sering kali gue males banget jalan dan turun ke bawah untuk menyari makanan. Baik itu untuk makan siang, atau makan malam, ujung-ujungnya pasti gue bergantung pada menu makanan yang ada di meja kamar gue dan sambungan telefon ke room service. Dengan sigapnya gue memencet angka 2, atau kalau sedang sibuk dan nggak bisa dihubungi memencet kombinasi angka 8005, dan memesan makanan yang mau gue santap.

Makanan andalan gue setiap gue memesan room service adalah Capcay Seafood dan Tahu Gejrot. Kali ini, gue mau menyoba variasi lain. Jatuhlah pilihan pada Ayam Cabe Ijo dan Tempe Mendoan.


Selang satu jam setelah gue menelfon layanan kamar, datanglah sepiring ayam berbalut sambal berwarna hijau. Ayamnya potongan dada, sengaja gue pesan seperti itu, karena gue hanya doyan bagian tersebut. Lengkap dengan beberapa potong tomat dan timun, Ayam Cabai Hijau gue dihias dengan sedikit taburan bawang goreng diatasnya. Ayamnya digoreng kering sampai luarnya agak keras dan alot saat dikunyah, tapi lebih baik begitu daripada setengah matang dan masih ada sisa-sisa darahnya. Sambalnya nggak terlalu pedas, masih lebih pedas sambal di rumah makan Padang sebelah komplek gue. Agak sedikit manis, tapi tetap gurih. 

Dan Tempe Mendoannya ternyata hanyalah tempe goreng tepung biasa, bukan Tempe Mendoan yang lebar nan basah yang biasa gue beli di deket komplek. Tempenya, meskipun empuk, tapi kurang bisa dinikmati karena rasanya yang hambar nyerepet pahit. Tepungnya saja yang agak gurih, tapi selebihnya hambar. 


Berhubung gue sedang diet, gue menghindari makanan-makanan yang mengandung karbohidrat dan gula, tapi ndilalah waktu itu gue dikasih terbang dengan kapten yang perhatian, dibelikanlah gue sebungkus Mie Aceh oleh beliau. Waktu itu beliau dan keluarganya menyempatkan untuk jalan-jalan ke kota, sementara gue mendekam di kamar bersama laptop. Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu, dan pas gue intip dari door viewer ada sesosok yang melengos ke kiri dan menghilang. Gue buka pintunya dan langsung bunyi "kresek-kresek". Ternyata makanan gue disangkutin di pintu kamar. Gue tengok ke kiri dan masih ada sosok tersebut yang ternyata adalah anak laki-laki kapten gue yang sedang berlari kecil menuju kamarnya. Langsung gue teriak, "Kapten, terima kasih!". Lalu ada kepala nyembul dari pintu kedua setelah kamar gue, "Yo, sama-sama!".

Nggak masalah diet gue hancur malam itu karena Mie Acehnya enak banget! Nggak Mie Acehnya bikinan siapa, pokoknya judulnya Mie Aceh dan dibeli di Kota Medan. Mienya gemuk-gemuk dan empuk, berwarna kuning langsat, ditaburi irisan bawang merah, lauk-pauk yang kelihatannya seperti otak-otak dan telur orak-arik, sepotong jeruk nipis untuk diperas diatasnya, dan beberapa potong timun. Serius, mienya seenak itu! Rasanya gurih, belum pernah gue mencicipi rasa yang seperti ini sebelumnya. Kesedapan Mie Aceh tersebut meningkat 20% ketika gue tambahkan dengan perasan jeruk nipis, langsung terasa kecutnya, tapi segar.

Yang membuat gue jatuh cinta adalah potongan bawang merahnya yang manis dan agak nyelekit kita dipadukan dengan mie gurih manis yang empuk itu. Ditambah lagi potongan daging yang menjadi pelengkap makan malam gue tergolong empuk dan nggak terlalu alot, rasanya pun gurih manis. Yang niatnya hanya makan setengah porsi buyar seketika.

Pernah juga, keesokan siang dari malam setelah gue menyantap Mie Aceh, gue iseng jalan-jalan di sekitar hotel untuk mencari makanan yang belum pernah gue coba. Hari itu tingkat mager gue dibawah rata-rata, jadi niat untuk berpetualangnya tinggi.

Ada cafe di sebelah hotel tempat gue menginap yang kelihatannya cukup cantik dan manusiawi untuk nongkrong, namanya L.Co. Gue masuk dan memilah makanan yang ada di daftar menunya, dan memutuskan untuk membawa pulang satu porsi Crispy Salad. Gue nggak kepikiran yang aneh-aneh karena dari namanya aja udah "salad", paling yang crispy cuma taburan crouton, atau mungkin semacam cheese sticks, gitu. Selang beberapa menit kemudian, salah satu staff restorannya memanggil gue dan menyerahnya dua bungkusan plastik berisikan styrofoam. "Maaf dibagi jadi dua ya, Kak, nggak cukup soalnya," kata si Kakaknya. Dalam hati gue bersorak, "Hore, nggak usah beli makan malam lagi!". Ternyata, isinya seperti ini..

Mau marah, tapi kok menggiurkan?

Segini banyaknya cuma Rp25.000,00? Nggak salah, tuh?

Setelah menelfon Ibu dan Bapak gue dan mengadu tentang makanan yang gue beli, akhirnya gue menemukan arti dari Crispy Salad. Mungkin yang mereka maksud adalah Taco Salad kali, ya, berhubung bentukannya seperti ini. Di dalamnya memang ada salad, tapi pakai acara ditumpuk potongan ayam balut tepung yang digoreng kering, lumuran saus mayonnaise yang ternyata kalorinya seember, taburan kacang wijen yang kurang kerasa dan cuma nyelip diantara gigi, dibungkus dengan adonan goreng yang bersimbah minyak. Di sini gue antara mau misuh-misuh, tapi di lain sisi ada bersyukurnya karena makanan ini kelihatan banget bakalan enak.

Bener, tuh, enak banget. Memang, ya, yang nggak sehat itu terjamin enaknya. Meskipun adonan gorengnya agak terasa pahit, mungkin karena minyak yang dipakai untuk goreng sudah bekas goreng beberapa kali dan belum diganti, tapi enaknya nggak bohong. Berminyak, berlemak, dan nikmat. Potongan ayamnya gemuk-gemuk dan sangat renyah, apalagi dipadukan dengan saus mayonnaise manis dan potongan salad segar yang ada di bawahnya. Sesungguhnya porsi saladnya sedikit banget, ibarat daging sapi di tukang kebab pinggir jalan yang justru lebih banyak sayur dan sausnya, tapi nggak apa-apa lah.

Kurang dari 15 menit, gue berhasil melahap satu porsi. Masih ada satu porsi lagi, tapi untungnya gue masih waras untuk nggak ngelanjutin ronde kedua. Bingung, dibuang mubazir, dimakan jadi lemak. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar gue, "Room Service! Mau dibersihkan kamarnya, Bu?". Gue buka pintu dan menyerahkan kresek porsi kedua kepada si Abang. "Nggak usah, Bang, terima kasih, ya. Ini ada cemilan buat Abang," kata gue. Lalu si Abangnya senyum-senyum.

Sunday, April 22, 2018

Reward Yourself and Say, "You did good, self!"

During my previous shift at Medan, I managed to do well on my diet I decided to reward myself with a slice of Chicago Cheesecake from the Coffee Bean & Tea Leaf on my arrival to Jakarta. A slice of this beautiful baby costed me Rp45.000,00. A bit pricey, but I thought to myself, "You deserve this!".

My choice was between the Oreo Cheesecake or this Chicago Cheesecake. I asked recommendation from the barista and he told me to go with the Chicago, so I did. "The Oreo Cheesecake is, well, you know how it would tasted already, right? Sweet, cheesy, and full of Oreo goodness. But, the Chicago Cheesecake has some lemon zest in it, so it'll be a bit refreshing for the taste bud," he said. I took a spoonful of the cake and it lived up to the barista's reviews.

The cake is a bit heavy, sweet but not too sweet, and the citrus flavor managed to stand its' ground as a neutralizer. It took me a while to finish it, not because it was sickening, but because it tasted so good I don't want it to be over. Don't expect a fluffy cake because this cake is very compact. Loving the biscuit crumble on the bottom part of the cake so much I hoped there was more!

Oh, and the fact that we can smoke at this particular cafe adds some extra point on why you should stop by during your transit at Jakarta. You do have to buy something if you only want to smoke inside the cafe. My suggestion is: just go for the cake because the water costs you the same amount of money.



The Coffee Bean & Tea Leaf
Terminal 2 Keberangkatan (Departure Terminal)
Bandara Soekarno Hatta
Tangerang, Banten 19120

My Remedy

I haven't been feeling myself lately. I'm not sure if it's because of Aunt Ruby's in town, or is it because of the stuff that's been happening in my life. Don't get me wrong, life is beautiful now that I'm able to live it just like how I want it to be! But, it's the unexpected turn of events that gives a little nudge on the "Self, are you fully recovered?".

At times like this, the best remedy to keep me sane is Mom's cooking. She made the best food with her hand. She can't even imitate the taste of gorengan that you can find on the streets because Mom's gorengan tasted way much better than those on sale for Rp1.000,00 each. Even when she failed at making cookies, because the batter was to watery hence resulting a blob of crispy sugary substance, they still tasted good.

A couple of flights ago, she packed me some vegetable omelette, fried chicken, and some steamed broccoli. Nothing fancy, just a simple yet delicious range of food that suited my no-carb no-sugar diet. It was a long flight, but it didn't drained the life out of me because I had Mom's cooking to boost my energy.

I paired my dinner with a cup of Wedang Uwuh that I bought when Mom and I went to Solo. It's not the instant powder-type one, but the actual bag of herb itself. It consists, if I'm not mistaken, of cloves, cinnamon stick, ginger, nutmeg leaves, secang leaves, lemongrass, cardamom, and bits of rock sugar. Put them all in a cup, pour some hot water into it, and you got yourself a glassful of warm and spicy goodness. I didn't add sugar to my hot drink, and it tasted fine the way it is.

Despite the bad weather, I felt okay and managed to pull myself together through it all.  

Tuesday, April 10, 2018

Roti Abon Gulung Khas Solo

"Cobain Abon Gulung Khas Solo, Kin. Bisa dipesen lewat Go-Jek. Menurutku, ini lebih enak daripada yang Manokwari," ucap Papo melalui Whatsapp. Saat itu, gue dan Ibu tengah meneguk gelas kedua jus yang kami pesan di restoran hotel Omah Sinten. Cuacanya panas banget dan kami sepertinya kekurangan minum gara-gara seharian keliling-keliling naik becak. Gue buka aplikasi Go-Jek, dibagian Go-Food, dan gue cari di kotak pencarian dengan kata kunci "Abon Gulung Khas Solo". 


Nggak lama, muncullah di opsi pertama toko roti tersebut yang berjarak kurang dari 10km dari tempat kami menginap. Mumpung gue masih ada sisa saldo Go-Pay dari Bapak, gue pesan satu kotak yang rasa original. Tergoda banget untuk menyicipi di tempat karena secinta itu gue dengan roti abon gulung, tapi gue masih ingat berat badan. Akhirnya, sepulangnya gue dan Ibu ke Caman, barulah kami buka dan kami icip barengan dengan Oom, Tante, Eyang, Ninik, dan saudara-saudara gue yang sedang ngumpul. 



Satu kotak tersebut berisikan sepuluh potong roti abon gulung yang manis dan imut-imut. Presentasi dari rotinya lebih kalem dan lebih rapi kalau dibandingkan dengan Abon Gulung asal Papua yang bentuknya lebih lonjong dan isian abonnya awur-awuran kemana-mana. Agak mirip dengan tampang roti abon hasil produksi BreadTalk, dan ukurannya pun nggak beda jauh, tapi jauh lebih manis. Hiasan taburan kacang wijen putih, kacang wijen hitam, dan irisan daun bawangnya pun tampak jelas, tapi nggak ngotot. Ibarat membandingnkan Shion dengan Nezumi dari serial animasi berjudul No.6: sama-sama cogan, tapi yang satu berandalan, yang satu anak rumahan. 

Rotinya empuk, daun bawangnya terasa gurihnya, perbandingan saus mayonaise dengan abonnya cukup manusiawa dan nggak terlalu berlebihan, tapi menurut gue isian abonnya agak kurang banyak menurut gue (atau, mungkin, guenya aja yang terlalu rakus). Makannya nggak kerasa karena ukurannya terlalu imut, dua kali gigit tiba-tiba lenyap seketika. 



Gue agak kesusahan memilih roti abon mana yang paling enak, asal Solo, atau asal Papua, karena keduanya sama-sama enak meskipun punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi, sepertinya, kalau gue disuguhkan kedua roti di depan mata, gue akan langsung memilih Roti Abon Gulung dari Manokwari Bakery, atau Hawai Bakery, hanya karena ukurannya lebih besar dan abonnya lebih tumpah. 

Kalau kalian lebih suka yang mana? 

Kurma dan Celotehan Lainnya

Akhir-akhir ini gue baru mulai bisa menyikapi, atau lebih tepatnya mengeles dari, awkward moments yang sering kali gue alami di kehidupan sehari-hari. Lebih seringnya, sih, terjadi di kantor saat gue tengah mempersiapkan diri untuk terbang hari itu.

Contoh sederhananya:

Biasanya gue akan ngendok di suatu meja, mempersiapkan segala dokumen yang perlu gue pelajari untuk terbang, ya dari chart, flight plan, kondisi cuaca pada jam berapa, kondisi awan pada jam berapa, dan kawan-kawannya. Karena gue seorang pilot, sudah pasti gue akan terbang bersama kapten gue. Otomatis duduk bareng, dong? Lalu, ada aja, nih, teman kerja seperpilotan yang akan nyamperin kapten gue untuk salam, atau sekedar bertanya, "Terbang ke mana, Kep?". Nah, di situ lah awkward moment itu terjadi. Ketika mereka selesai ngobrol dan mereka bersalaman, sudah pasti gue akan menyodorkan tangan gue untuk dijabat juga. Dan, namanya juga awkward moment ya, tangan gue tidak disambut dengan tangan lain, melainkan dengan tatapan singkat dan sapaan selamat tinggal, "Yo, Nan". Nyeh.

Gue yang dulu akan kelimpungan sendiri mengatasi rasa malu karena tidak dijabatnya tangan gue (insert "da aku mah apa atuh cuma sisaan mecin chitato dibuang ke tong sampah" meme here). Tapi, sekarang gue malah membatu di tempat, nengok ke kapten gue, dan mengeluarkan, "Yah, Kep, saya nggak disalamin." lalu kapten gue akan tertawa iba.

But, then again, I have come to embrace the awkwardness of that particular situation. Mungkin gue sudah terlalu lelah mengeluarkan emosi-emosi negatif yang tidak diperlukan, karena nantinya akan berpengaruh ke terbang gue, jadinya gue memutuskan untuk, "Da aku mah apa atuh cuma pecahan kulit kwaci".

Kalau kamu, entah kapan, ada aja kedapetan pengalaman canggung seperti tadi, jangan dibawa mumet. Handle it with jokes. Your life is a joke anyway. Cia.

Ngomong-ngomong, yang di atas tadi cuma cerita selingan. Kemarin, di penerbangan yang membawa gue ke Medan (iya, ini lagi di Medan), gue dibagi beberapa potong kurma dari Mas Yopie. Beliau adalah salah satu pramugara senior yang sudah bergabung di AirAsia lebih lama ketimbang gue yang masih anak bawang ini (saking bawangnya sampai nggak disalamin). Pas banget gue tengah menimbang-nimbang mau beli cemilan apa di pesawat saking laparnya. Kurmanya manis, keras, tapi nggak kering saat dikunyah. Cocok banget ditemani dengan segelas teh tawar hangat.


Friday, April 6, 2018

Hari Pertama di Solo

Selamat datang di Bandara Adi Soemarmo


Kedatangan gue di Solo disambut dengan curah hujan yang cukup lebat. 45 menit lamanya perjalanan dari Bandara Adi Soemarmo ke penginapan gue yang letaknya di pengkolan Jalan Diponegoro karena, “Di jalan yang biasa kami lewati sedang ada pembangunan underpass, jadinya saya lewat jalan lain. Agak macet, jadi mungkin agak lama nyampe hotelnya, Bu,” kata Pak Andi. Pak Andi itu supir yang menjemput kami di bandara. Orangnya gempal, kulit sawo matang, pendiam.

Welcome Drink dari Omah Sinten: Beras Kencur dingin


Omah Sinten. Memang beneran di pengkolan letaknya. Dari luar kelihatannya kecil, mungkin karena waktu itu matahari sudah terbenam, penglihatan gue mulai berkurang; ya semacam rabun ayam gitu, deh. Kamar gue dan Ibu terletak di lantai 3, di depan kamar disediakan meja kecil, sepasang kursi, dan asbak. “Kalau mau merokok boleh di luar kamar,” kata salah satu Bapak yang adalah staff dari Omah Sinten. Nggak tau namanya siapa. 

Gue dan Ibu sempat leyeh-leyeh sebentar dikamar, membakar beberapa rokok, lalu kemudian beranjak dari tempat ngaso depan kamar kami yang adem dan teduh banget untuk mencari makan. Saat itu, hujan sudah reda. “Pak, Sumber Bestik ke arah mana, ya” tanya Ibu dengan Pak Andi yang tengah nongkrong di teras hotel dengan salah satu petugas parkir hotel. Ya, semacam Pak Ogah, gitu. “Kan, matahari sebelah sana,” lanjut Ibu sambil mengarahkan tangannya ke jalan, “terus abis itu ke mana?”. Sesaat gue bingung, sejak kapan nyokap gue bisa nunjukin arah pake mata angin? “Matahari kan di sana, Ibu lurus terus, nanti ada di sebelah Selatan,” balas Pak Andi. Fak, gue makin bingung. 

Pilihan transportasi tertuju antara Go-Car dan jalan kaki. Kalau pakai Go-Car cuma tiga menit, sedangkan jalan kaki tambah 17 menit lagi. Mumpung kami lagi di Tanah Solo, berusul lah gue untuk memakai becak sebagai alat transportasi. Eh, bener aja, tiba-tiba becak lewat di depan kami. “Pak, nganggur ora,” teriak si petugas parkir. Becak tersebut kemudian berhenti dan melipir ke arah kami sambil melanturkan bahasa Jawa yang gue nggak paham. Seandainya ini film bajakan, subtitlenya nggak ada. Setelah negosiasi selama beberapa menit, jadilah gue dan Ibu naik becak untuk ke Sumber Bestik. “20 ribu aja mbak,” kata Pak Gofur si tukang becak. 

Bisa makan di tempat, bisa juga pesan melalui Go-Food

Ada tempat makan tenda, ada juga yang di dalam
Yum, what to choose!

Sumber Bestik itu tempat makan. Makanannya macem-macem, tapi yang jadi incaran kami adalah Bistik Lidah Sapinya. Dari Omah Sinten ke Sumber Bestik nggak terlalu jauh, kurang lebih 15 menitan lah, tapi itu kalau Sumber Bestik cabang yang dikelola anaknya - maksudnya tuh, anaknya si Bapak yang empunya Sumber Bestik itu. Tempatnya kecil dan nggak seramai cabang utamanya yang terletak di Jalan Honggowongso. Tempat gue dan Ibu makan adalah Sumber Bestik yang dikelola oleh Bapaknya. Memang lebih besar dan lebih ramai, meskipun tetap ada pengamen yang mengamen pakai cello. 

"Dari mana, Mbaknya," tanya si Bapak kaos hitam

Mutual game strong: yang satu masak, yang satu nyidukin bumbu

Penampakan lidah sapi mentah yang, sesungguhnya, nggak menggugah selera

Bestik Dadar Lidah, Cap Cay Ayam Goreng, Resoles Kering, dan Kulit Goreng adalah menu makan malam kami. Ibu minum Jeruk Hangat, sementara gue menetap dengan Teh Tawar Panas. Sebenernya pingin minum Es Teh Manis, atau apapun minuman dingin, segar, dan berasa, tapi apa daya adik sedang diet. Eh, gue berhasil nurunin 4 kilo lho dua bulan belakang ini. Hebat, nggak?

Asli, ya, bukan karena gue kelaparan atau apa, tapi makanan di Warung Makan “Sumber Bestik” Pak Darmo ini cocok banget di lidah. Enak banget, gurih, berasa bumbu dan mecinnya, nendang, dan selesai makan langsung kenyang bego. 

Bestik Dadar Lidah itu adalah potongan lidah sapi yang didadar dengan telur, kemudian dimasak dengan bumbu bestiknya (entah apa, bukan gue kokinya), dilengkapi dengan potongan-potongan wortel, dan disajikan panas-panas. Enak banget, pemirsa. Bumbunya itu sudah pasti pakai kecap karena manis-manis gurih gimana, gitu. Lidah sapinya empuk dan nggak terlalu kenyal. Kadang gue suka geli dengan makanan yang kenyal-kenyal, seperti kikil, lemak, kulit ayam basah, dan sebagainya, tapi lidah sapi yang didadar ini cukup manusiawi dan memang enak rasanya. Nggak sadar gue makannya semangat banget. Pas sudah sadar pun, gue nggak bisa berhenti untuk makan dengan lahap. 

Bestik Dadar Lidah

Sepotong lidah yang ada di dadarnya

Bestik Dadar Lidah kami santap dengan ditemani Resoles Kering yang isiannya melimpah dan Kulit Goreng yang gurih dan kriuk. Awalnya gue agak ragu ketika Ibu mau pesan Resoles Kering. Hmm, risoles kan kulitnya dari tepung, pikir gue. Tapi ternyata Resoles yang dimaksud di sini adalah telur dadar tipis yang diisi dengan potongan daging cincang dan telur orak-arik. Gue pun sempat berpikir, ah, paling isinya cuma seiprit. Tapi ternyata melimpah banget. Asli itu cuma daging dan telur tok.  Rasanya bagaimana? Nggak usah ditanya, gurih, nggak seperti bagaimana risoles seharusnya, agak mirip dengan martabak telur tapi kulitnya nggak renyah. Soal Kulit Gorengnya, nggak ada komentar lain selain enak. Ayolah, siapa yang nggak suka kulit ayam digoreng sampai kriuk, kan? 

Lord, have mercy.

Resoles ala Pak Darmo


Cap Cay Ayam Gorengnya sempat membuat gue merasa terintimidasi dengan porsinya yang menggunung bak nasi kuli. Isinya potongan sayur, otak-otak, telur rebus yang tercampur dengan kuahnya, dan potongan-potongan daging. Saat gue icip kuahnya, rasanya damai di hati. Ujung-ujungnya habis juga tuh, meskipun otak-otaknya nggak gue sentuh. 

Cap Cay Ayam Goreng

Ada satu titik di mana, saat gue tengah menikmati semua sajian Surakarta itu, kaki gue naik ke kursi. Seketika makan malam gue tambah terasa nikmat. 

Masih pagi saat kami selesai menyantap makan malam, sekitar pukul delapan malam. Tapi, meskipun begitu, jalanan sudah mulai sepi. Nggak banyak warga berlalu lalang di daerah tempat kami makan. Di Alun-alun Kidul pun sangat sepi kalau dibandingkan dengan Alun-alun di Jogjakarta. Memang ada beberapa permainan ala pasar malam yang berdiri dengan kokohnya di sekitar pinggiran lapangan, tapi itu pun sepi pengunjung. Ada beberapa anak-anak berlarian di sekitar lapangan. Ada banyak motor-motor yang terparkir rapi, dengan sepasang anak baru gede ngendok di joknya sambil berpelukan dan colek-colekan pipi (nyeh, bikin iri). Ada beberapa ontel-ontel yang tengah dikayuh pengendaranya yang tampaknya handal sekali dalam melakukan banyak aktivitas dalam sekali waktu: mengayuh dan mengambil selfie. 


Mancing mania, mantap!

Salah satu permainan yang paling brilian yang pernah gue lihat

Akhir hari pertama kami di Solo kami akhiri dengan semangkuk Wedang Ronde di trotoar Alun-alun Kidul. Jahenya hangat, kacangnya gurih, kolang-kalingnya nyisa di mulut. 

Selain Pak Kumis, ada juga kok pedagang Wedang Ronde lainnya

Halo, sayangku


Warung Makan "Sumber Bestik" Pak Darmo - Cabang Bapak
Pinggir Jalan Honggowongso, No. 92
Kota Surakarta


Warung Makan "Sumber Bestik" Pak Darmo - Cabang Anak
Pinggir Jalan Dr. Rajiman, No. 209
Kota Surakarta


Wedang Ronde Pak Kumis
Alun-alun Kidul, Solo
Kota Surakarta 

Wednesday, April 4, 2018

Asupan Imun dari Colette Lola

Berangkat kerja dari Terminal 3 itu menyenangkan, tapi lebih banyak bikin kepala pusingnya. Satu karena jalan dari imigrasi ke pesawatnya jauh, kedua karena banyaknya tempat jajan terkenal yang makanan dan minumannya aesthetically pleasing dengan harganya yang nggak terlalu bersahabat untuk dompet kaum medit seperti gue. Salah satu contohnya adalah Colette Lola. Iya, gengs, Colette & Lola buka cabang di bandara. Kurang keren apalagi Terminal 3?

Kemarin siang, saat gue tengah menunggu kedatangan pesawat yang akan gue terbangi dari Jakarta ke Singapur, gue mampir ke kiosnya Colette & Lola yang berlokasi berdekatan dengan Gate 8 dan Gate 9. Nyari nyari nyari, tapi nggak ketemu cemilan yang rendah kalori, rendah gula, dan rendah karbohidrat. Lalu pandangan gue tertuju kepada sederet menu dengan nama Sejuice Me's Healthy Juice. Seperti yang udah gue sebutkan di atas, harganya nggak terlalu bersahabat, berkisar antara Rp50.000,00 sampai Rp65.000,00. Sesungguhnya gue, pada saat itu, nggak lapar. Tapi mulut dan tangan rasanya gatal ingin jajan. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang, pilihan gue jatuh pada sebotol cold-pressed juice dengan nama Immune Booster. Pas banget lagi butuh asupan imun.


Terbuat dari campuran apel, jeruk, dan nanas, dilengkapi dengan goji beri dan chia seed biar nggak bosen-bosen amat neguk, tapi juga bisa ngunyah. Total biaya yang gue keluarkan adalah Rp60.000,00 karena, ternyata, meskipun harga jus botolan ini lebih murah lima ribu rupiah, ternyata ada pajaknya. Berasa makan di restoran, ya.

Untungnya jusnya enak dan segar, nggak ngecewain. Meskipun jeruknya mendominasi, tapi apel dan nanasnya pun bisa terasa disetiap tegukan. Gue paling senang dengan butiran-butiran goji beri dan chia seed yang bisa dikunyah. Rasanya ibarat memakan coklat yang ada isian biskuit dan kacangnya.