Kue Putu, salah satu jajanan tradisional Indonesia yang gue syukuri keeksistensiannya yang belum berakhir di kalangan komplek rumah gue. Setiap sekitar jam 5 sore, mau cerah, mau hujan, pasti terdengar suara lengkingannya yang sudah menjadi khas para penjual Kue Putu. Ditemani gerobak dan payung andalannya, si Bapak seketika menjadi sigap dan menambah kecepatan berjalannya setelah gue melambaikan tangan ke kamera karena tidak kuat. Eh, bukan..
"Berapa, Pak," gue tanya, yang kemudian dibalas dengan, "Seribuan aja, Neng." Gue kaget. Masa gue dikira orang Sunda, kan harusnya "Mbak" berhubung gue orang Jawa!
Gue beli lima buah Kue Putu dan lima buah Klepon, bagi dua sama Ibu gue. Nggak lama, kok, proses pembuatan Kue Putunya. Tepung beras yang sudah dibubuhi pewarna alami dari daun pandan itu dimasukkan ke dalam cetakan Kue Putu yang terbuat dari bambu, lalu dimasukkan sejumput gula merah sebagai isian, kemudian ditimbun lagi dengan tepung beras sampai padat. Cetakan yang sudah diisi tersebut kemudian diletakkan diatas kalengan panas untuk dikukus. Yang bikin gue nggak habis pikir dari kecil sampai sekarang adalah, kok, bisa gitu isiannya nggak ambrol kebawah. Padahal kan dua sisinya sama-sama bolong.
Nggak lebih dari lima menit, Kue Putunya pun matang dan dikeluarkan dari cetakannya dengan cara disodok. Iya, disodok. Gue nggak ada pemilihan kata yang lebih bagus selain "sodok".
Nah, ini lagi, yang bikin gue nggak habis pikir. Gue paham betul bahwa Kue Putu yang baru saja disajikan oleh si Bapak itu masih panas tingkat dewa, tapi gue nggak memperdulikan fakta tersebut dan langsung gue lahap utuh-utuh. Manusia mana yang nggak menjerit kesakitan kalau lidahnya hampir bolong gara-gara lelehan gula merah? Baru, deh, setelah kapok keselomot (please, dong, pasti ada kan yang ngerti artinya "selomot") gue tunggu sampai agak dingin dulu baru gue makan.
Hambarnya tepung beras aroma pandan, kalau dipadukan dengan gula merah yang manis dan parutan kelapa yang gurih, tuh, enaknya khas banget. Itu, lah, rasa Kue Putu. Sayangnya, si Bapak kebiasaan bikin Kue Putu yang isian gula merahnya sedikit, dengan ratio 1:4 antara gula merah dan tapung beras. Mungkin lain kali, kalau beli lagi, gue harus request spesial untuk dibikin jadi lebih banyak isiannya.
Gue beli lima buah Kue Putu dan lima buah Klepon, bagi dua sama Ibu gue. Nggak lama, kok, proses pembuatan Kue Putunya. Tepung beras yang sudah dibubuhi pewarna alami dari daun pandan itu dimasukkan ke dalam cetakan Kue Putu yang terbuat dari bambu, lalu dimasukkan sejumput gula merah sebagai isian, kemudian ditimbun lagi dengan tepung beras sampai padat. Cetakan yang sudah diisi tersebut kemudian diletakkan diatas kalengan panas untuk dikukus. Yang bikin gue nggak habis pikir dari kecil sampai sekarang adalah, kok, bisa gitu isiannya nggak ambrol kebawah. Padahal kan dua sisinya sama-sama bolong.
Nah, ini lagi, yang bikin gue nggak habis pikir. Gue paham betul bahwa Kue Putu yang baru saja disajikan oleh si Bapak itu masih panas tingkat dewa, tapi gue nggak memperdulikan fakta tersebut dan langsung gue lahap utuh-utuh. Manusia mana yang nggak menjerit kesakitan kalau lidahnya hampir bolong gara-gara lelehan gula merah? Baru, deh, setelah kapok keselomot (please, dong, pasti ada kan yang ngerti artinya "selomot") gue tunggu sampai agak dingin dulu baru gue makan.
Hambarnya tepung beras aroma pandan, kalau dipadukan dengan gula merah yang manis dan parutan kelapa yang gurih, tuh, enaknya khas banget. Itu, lah, rasa Kue Putu. Sayangnya, si Bapak kebiasaan bikin Kue Putu yang isian gula merahnya sedikit, dengan ratio 1:4 antara gula merah dan tapung beras. Mungkin lain kali, kalau beli lagi, gue harus request spesial untuk dibikin jadi lebih banyak isiannya.
No comments:
Post a Comment