Showing posts with label Medan. Show all posts
Showing posts with label Medan. Show all posts

Wednesday, September 19, 2018

Rumah Makan Apeng Kwetiauw Medan

Makanan Medan di Surabaya? Nggak masalah!

Malam Minggu gue akhirnya berwarna. Yang biasanya hanya gue habiskan di depan laptop, nontonin video-videonya BuzzFeed di YouTube, kali ini gue jalan-jalan keliling Surabaya bersama salah satu sahabat gue sedari SMP dan beberapa teman baru. Kami berempat, ada gue, Sally, Cacha, dan Icha. Kami menempati jejeran bangku di depan sebuah restoran, yang kabarnya makanannya enak banget, dan kami memegang nomor antrian ke-12. Padahal waktu itu udah hampir pukul sembilan malam, yang artinya waktu makan malam udah jauh lewat, tapi restoran ini masih penuh oleh warga Surabaya menikmati hidangan oriental di dalamnya.

Mari kemari yang lapar malam-malam!

Rumah Makan Apeng Kwetiauw Medan adalah salah satu restoran di Surabaya yang digemari masyarakat sekitar, begitu juga dengan pendatang-pendatang dari luar kota. Dari luar, restorannya nggak terlalu kelihatan besar, tapi pas masuk ternyata luas dan lebarnya ke dalam bukan ke samping. Sally yang hanya beberapa kali dinas ke Surabaya aja udah duluan nyobain hidangan dari RM. Apeng, padahal gue udah tinggal di Kota Pahlawan ini hampir setengah tahun lamanya. 

Menu 1
Menu 2

Kami harus mengantri cukup lama karena padatnya pengunjung malam itu. Sekitar setengah jam dan satu piring kue lobak seharga Rp10.000,00 kemudian kami dipanggil oleh salah satu pelayan yang memakai seragam layaknya taruna IPDN. 

Tampilan dalam restorannya sangat sederhana, hanya meja, kursi, dan dapur tempat memasak makanan. Kami diarahkan ke meja kami yang letaknya agak di bagian belakang restorannya. Kami hanya butuh 5 menit untuk menentukan makanan dan minuman apa yang mau kami pesan, kemudian penantian kembali dimulai. 

Kue Lobak yang hasil fotonya agak buram. 

Kelihatannya proses pemasakannya cukup cepat meskipun tamu lagi ramai-ramainya. Kurang dari setengah jam kemudian, pesanan kami dihidangkan semua di meja: 3 porsi mie keriting goreng, 15 buah pangsit goreng, satu kaleng susu kacang, satu botol air mineral, satu gelas teh manis hangat, dan satu gelas teh tawar hangat. Kedengerannya memang biasa aja, tapi ini mewah banget. 

Karena sebelumnya gue baru aja melahap satu porsi salad buatan Crunch Haus sendiri, dan setelah dari Apeng kami berencana untuk mampir ke Holy Wings, gue memutuskan untuk berbagi Mie Keriting Goreng dengan Chacha. Porsinya cukup untuk satu orang, tapi kalau kalian datang ke sini dengan keadaan lagi lapar-laparnya, gue rekomendasi kalian untuk memesan satu setengah porsi. 

Mie Keriting Goreng

Ternyata Mie Keriting Goreng ini adalah campuran mie goreng dan bihun goreng yang dimasak dengan telur orak-arik, potongan bakso ikan, lembaran sawi dan tauge yang nggak begitu banyak, dan lapchiong. Tampilannya berantakan banget, seperti habis di aduk-aduk sembarangan di penggorengan, tapi itulah yang membuat gue cukup nggak sabar untuk menyantap meskipun waktu itu keadaan lambung gue udah hampir penuh. 

Gurih dan enak. Telur orak-arik yang tercampur dalam untaian mie dan bihunnya mengingatkan gue akan mie goreng tek-tek abang-abang yang biasa dijual di gerobakan. Asinnya cukup, tauge dan sawinya berhasil memberikan jeda dari gurihnya keseluruhan santapannya. Yang paling gue demen dari semua lauk yang ada di piring itu adalah potongan lapchiongnya yang sedikit terlalu tipis untuk gue. Manis, gurih, babi, dan nendang banget! Gue nggak kecewa dengan Mie Keriting Goreng buatan Apeng ini, tapi mungkin gue udah menetapkan standar yang terlau tinggi karena Sally dan kawan-kawan yang lainnya sangat semangat ketika merekomendasikan gue hidangan ini, jadi di suapan pertama gue udah keburu kecewa duluan. Nggak ada faktor “wow”-nya, tapi bukannya nggak enak. 

Pangsit Goreng

Kenikmatan pangsit gorengnya melebihi pangsit goreng buatan Bakmi GM. Mungkin karena diisi daging babi kali, ya, jadi di lidah gue rasanya enak banget. Ada pilihan daging lain, kok, buat kalian yang nggak makan, atau nggak doyan, babi. Saus celupannya juga mirip dengan yang ada di Bakmi GM, berwarna merah pekat dengan sentuhan merah jambu, kental, dan manis. Tapi, gue masih lebih suka saus pangsit gorengnya Bakmi GM ketimbang ini. 

Nggak butuh waktu lama bagi gue untuk menghabiskan makan malam kedua gue. Setelah makan, gue tutup dengan sekaleng susu kacang yang manis dan sebatang rokok. Nikmat dunia.


P.S. Kalau kalian kedapetan nomor antrian yang cukup jauh, di depan restoran ada etalase besar kepunyaan restoran itu juga yang menjual berbagai macam kudapan khas Medan, jadi kalian bisa nunggu sambil nyemil. Jajanan pasarnya cukup terjangkau, mulai dari Rp10.000,00 sampai Rp30.000,00. Kue-kue juga ada. Tapi, jangan banyak-banyak makannya, nanti keburu kenyang duluan sebelum makan di restorannya. 

Bermacam-macam jajanan asal Medan di depan restoran.

Banyak pilihannya, monggo dipilih.

Jangan dilihatin, tok, sambil dibeli, 


Rumah Makan Apeng Kwetiauw Medan
Jl. Kedungdoro No. 267, Wonorejo
Tegalsari, Kota Surabaya
Jawa Timur 60251

Opening Hours: 
MON - SUN: 8.30AM - 11PM

Contact:
+(62)31 534 5778

Tuesday, April 24, 2018

Terbang Bersama Mas Dede

Di Medan, ada satu pramugara yang baru saja gue kenal beberapa minggu belakang ini. Namanya Mas Dede. Beliau doyan banget masak. Setiap gue terbang bareng Mas Dede, pasti beliau membawa perbekalan yang selalu dia bagi untuk cockpit crew. Seperti contohnya hari ini, gue dibagi es krim dan teri kacang bikinannya. Rezeki memang nggak kemana, ya.






















Es Krim Jagung ini Mas Dede buat dengan bahan dasar jagung dan susu. Gue nggak ngerti gimana caranya itu jagung bisa bertekstur seperti foto yang gue lampirkan di atas, dan rasanya enak banget! Terus, di dalam serutan es krimnya, ada juga butir-butir jagung utuh yang manis dan nikmat banget untuk dikunyah. Manisnya nggak bikin mual dan rasanya segar untuk bisa menyantap es krim di dalam pesawat saat lagi terik-teriknya matahri. Berkat beliau, gue jadi bertekad untuk membuat es krim tanpa karbohidrat dan gula yang bisa gue santap tanpa dosa dalam program diet gue.

Lalu, setelah Es Krim Jagung, gue juga dibagi satu gelas Sambal Teri yang akhirnya menjadi menu makan siang gue karena gue nggak membawa bekal apa-apa selain buah potong gratis dari hotel dan satu buah apel. Rasanya pedas dan manis, tapi lebih dominan manisnya daripada pedasnya. Sepertinya, sih, Mas Dede nggak memakai gula jawa karena manisnya agak beda dengan manis gula jawa. Faktanya begitu, atau guenya aja yang sotoy.

Lepas dari hari ini, beberapa posting yang lalu di Medan, gue dan Kapten Afner pun dibagi satu mangkok penuh Keripik Opak. Tentu saja buatan tangan Mas Dede. Kali itu, gue yang mengambil sendiri dari kotak penyimpanan makanan teman-teman flight attendant di cabin bagian belakang, dan gue kaget pas gue melihat bahwa ternyata Mas Dede membawa satu plastik besar Keripik Opak tersebut. Asli, gue yang awalnya baru ngeliat doang, tanpa sadar, udah ngumpul air liurnya di pangkal lidah.

Keripik Opaknya renyah banget dan manis gurih rasanya. Manisnya selalu nggak membuat gue, ataupun kapten gue, mual. Pedasnya juga bikin nagih dan, tanpa sadar, gue dan kapten nggak berhenti mencomot satu demi satu sampai tiba-tiba, "Yah, Kep, abis!".


Monday, April 23, 2018

Medan, Lagi.

Masih seputar Medan. Mungkin kalau orang Medan yang ke Bekasi, mereka juga akan takjub kali, ya, mengenai betapa banyaknya makanan yang mereka belum pernah coba. Ya, sama, seperti gue sekarang ini. Masih getol-getolnya pingin nyobain makanan ini itu di Medan. Ini aja belum di kota Medannya langsung, masih di sekitar Kuala Namu. Apa jadinya kalau gue ketemu Ucok Durian dan kawan-kawannya?

Sering kali gue males banget jalan dan turun ke bawah untuk menyari makanan. Baik itu untuk makan siang, atau makan malam, ujung-ujungnya pasti gue bergantung pada menu makanan yang ada di meja kamar gue dan sambungan telefon ke room service. Dengan sigapnya gue memencet angka 2, atau kalau sedang sibuk dan nggak bisa dihubungi memencet kombinasi angka 8005, dan memesan makanan yang mau gue santap.

Makanan andalan gue setiap gue memesan room service adalah Capcay Seafood dan Tahu Gejrot. Kali ini, gue mau menyoba variasi lain. Jatuhlah pilihan pada Ayam Cabe Ijo dan Tempe Mendoan.


Selang satu jam setelah gue menelfon layanan kamar, datanglah sepiring ayam berbalut sambal berwarna hijau. Ayamnya potongan dada, sengaja gue pesan seperti itu, karena gue hanya doyan bagian tersebut. Lengkap dengan beberapa potong tomat dan timun, Ayam Cabai Hijau gue dihias dengan sedikit taburan bawang goreng diatasnya. Ayamnya digoreng kering sampai luarnya agak keras dan alot saat dikunyah, tapi lebih baik begitu daripada setengah matang dan masih ada sisa-sisa darahnya. Sambalnya nggak terlalu pedas, masih lebih pedas sambal di rumah makan Padang sebelah komplek gue. Agak sedikit manis, tapi tetap gurih. 

Dan Tempe Mendoannya ternyata hanyalah tempe goreng tepung biasa, bukan Tempe Mendoan yang lebar nan basah yang biasa gue beli di deket komplek. Tempenya, meskipun empuk, tapi kurang bisa dinikmati karena rasanya yang hambar nyerepet pahit. Tepungnya saja yang agak gurih, tapi selebihnya hambar. 


Berhubung gue sedang diet, gue menghindari makanan-makanan yang mengandung karbohidrat dan gula, tapi ndilalah waktu itu gue dikasih terbang dengan kapten yang perhatian, dibelikanlah gue sebungkus Mie Aceh oleh beliau. Waktu itu beliau dan keluarganya menyempatkan untuk jalan-jalan ke kota, sementara gue mendekam di kamar bersama laptop. Tiba-tiba ada suara ketukan di pintu, dan pas gue intip dari door viewer ada sesosok yang melengos ke kiri dan menghilang. Gue buka pintunya dan langsung bunyi "kresek-kresek". Ternyata makanan gue disangkutin di pintu kamar. Gue tengok ke kiri dan masih ada sosok tersebut yang ternyata adalah anak laki-laki kapten gue yang sedang berlari kecil menuju kamarnya. Langsung gue teriak, "Kapten, terima kasih!". Lalu ada kepala nyembul dari pintu kedua setelah kamar gue, "Yo, sama-sama!".

Nggak masalah diet gue hancur malam itu karena Mie Acehnya enak banget! Nggak Mie Acehnya bikinan siapa, pokoknya judulnya Mie Aceh dan dibeli di Kota Medan. Mienya gemuk-gemuk dan empuk, berwarna kuning langsat, ditaburi irisan bawang merah, lauk-pauk yang kelihatannya seperti otak-otak dan telur orak-arik, sepotong jeruk nipis untuk diperas diatasnya, dan beberapa potong timun. Serius, mienya seenak itu! Rasanya gurih, belum pernah gue mencicipi rasa yang seperti ini sebelumnya. Kesedapan Mie Aceh tersebut meningkat 20% ketika gue tambahkan dengan perasan jeruk nipis, langsung terasa kecutnya, tapi segar.

Yang membuat gue jatuh cinta adalah potongan bawang merahnya yang manis dan agak nyelekit kita dipadukan dengan mie gurih manis yang empuk itu. Ditambah lagi potongan daging yang menjadi pelengkap makan malam gue tergolong empuk dan nggak terlalu alot, rasanya pun gurih manis. Yang niatnya hanya makan setengah porsi buyar seketika.

Pernah juga, keesokan siang dari malam setelah gue menyantap Mie Aceh, gue iseng jalan-jalan di sekitar hotel untuk mencari makanan yang belum pernah gue coba. Hari itu tingkat mager gue dibawah rata-rata, jadi niat untuk berpetualangnya tinggi.

Ada cafe di sebelah hotel tempat gue menginap yang kelihatannya cukup cantik dan manusiawi untuk nongkrong, namanya L.Co. Gue masuk dan memilah makanan yang ada di daftar menunya, dan memutuskan untuk membawa pulang satu porsi Crispy Salad. Gue nggak kepikiran yang aneh-aneh karena dari namanya aja udah "salad", paling yang crispy cuma taburan crouton, atau mungkin semacam cheese sticks, gitu. Selang beberapa menit kemudian, salah satu staff restorannya memanggil gue dan menyerahnya dua bungkusan plastik berisikan styrofoam. "Maaf dibagi jadi dua ya, Kak, nggak cukup soalnya," kata si Kakaknya. Dalam hati gue bersorak, "Hore, nggak usah beli makan malam lagi!". Ternyata, isinya seperti ini..

Mau marah, tapi kok menggiurkan?

Segini banyaknya cuma Rp25.000,00? Nggak salah, tuh?

Setelah menelfon Ibu dan Bapak gue dan mengadu tentang makanan yang gue beli, akhirnya gue menemukan arti dari Crispy Salad. Mungkin yang mereka maksud adalah Taco Salad kali, ya, berhubung bentukannya seperti ini. Di dalamnya memang ada salad, tapi pakai acara ditumpuk potongan ayam balut tepung yang digoreng kering, lumuran saus mayonnaise yang ternyata kalorinya seember, taburan kacang wijen yang kurang kerasa dan cuma nyelip diantara gigi, dibungkus dengan adonan goreng yang bersimbah minyak. Di sini gue antara mau misuh-misuh, tapi di lain sisi ada bersyukurnya karena makanan ini kelihatan banget bakalan enak.

Bener, tuh, enak banget. Memang, ya, yang nggak sehat itu terjamin enaknya. Meskipun adonan gorengnya agak terasa pahit, mungkin karena minyak yang dipakai untuk goreng sudah bekas goreng beberapa kali dan belum diganti, tapi enaknya nggak bohong. Berminyak, berlemak, dan nikmat. Potongan ayamnya gemuk-gemuk dan sangat renyah, apalagi dipadukan dengan saus mayonnaise manis dan potongan salad segar yang ada di bawahnya. Sesungguhnya porsi saladnya sedikit banget, ibarat daging sapi di tukang kebab pinggir jalan yang justru lebih banyak sayur dan sausnya, tapi nggak apa-apa lah.

Kurang dari 15 menit, gue berhasil melahap satu porsi. Masih ada satu porsi lagi, tapi untungnya gue masih waras untuk nggak ngelanjutin ronde kedua. Bingung, dibuang mubazir, dimakan jadi lemak. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar gue, "Room Service! Mau dibersihkan kamarnya, Bu?". Gue buka pintu dan menyerahkan kresek porsi kedua kepada si Abang. "Nggak usah, Bang, terima kasih, ya. Ini ada cemilan buat Abang," kata gue. Lalu si Abangnya senyum-senyum.

Monday, March 26, 2018

Duren Pak Lubis

Kembali lagi gue di Medan, dengan sasaran duren baru yang letaknya nggak terlalu jauh dari hotel tempat gue menginap. Kurang lebih 15 menit kalau naik mobil jemputan dari Wings Hotel, lurus terus sampai ketemu Markas Brimob dan lapangan luas, putar balik, melipir ke kiri sedikit, nggak lama kemudian sampailah ke sebuah warung sederhana berhias tumpukan duren di depannya. Entah nama resminya apa, tapi gue dan teman-teman AirAsia gue menyebutnya Duren Pak Lubis.



Harganya nggak terlalu mahal, satu buahnya ada yang Rp30.000,00 ada juga yang Rp35.000,00. Pak Lubisnya sendiri lah yang akan memilihkan durennya dan kita bisa mencoba dulu sebelum memutuskan untuk mengambil duren tersebut. Manis kah, kurang manis kah, terlalu bersoda kah, busuk kah, atau terlalu pahit pun, kalau rasa durennya nggak sesuai dengan selera kita, duren tersebut akan digantikan oleh Pak Lubis. Dengan suara lantang dan logat khas Medannya, Pak Lubis akan menemani kita menyantap durian selayaknya teman.


Pak Lubis ini sudah berjualan durian sedari beliau belum mempunyai anak. Dan sekarang anaknya yang paling tua sudah berumur 30 tahun. Lucunya, meskipun Pak Lubis ini penjual durian, beliau tidak suka durian.

Dibandingin dengan Dedi Durian, Durian Pak Lubis ini lebih montok, lebih cantik tampilan daging duriannya, dan varian rasa duriannya lebih bermacam-macam. Kebanyakan manisnya lebih kental dibandingin dengan Dedi Durian, tapi lebih sedikit bersoda juga. Jangan dibandingin dengan Lambok Durian kalau masalah soda, Lambok Durian sudah terjamin menangnya.


Meskipun hati gue lebih memihak kepada durian empunya Pak Dedi, gue pun bisa menikmati durian dagangan Pak Lubis. Jelas, sudah 4 durian dibuka malam ini dan gue makan dengan lahap. Selamat tinggal, diet.

Saturday, March 17, 2018

Nastar Medan ala Dapur Reuni

Mohon maaf atas judul yang sangat tidak mengundang ini, kekreativitasan gue sudah gue kerahkan seluruhnya untuk mengedit video sedari jam sembilan pagi tadi. Video apa, kalian tanya. Tunggu tanggal mainnya, ya. 

Biasanya gue senang didinaskan di luar Jakarta, tapi entah kenapa, posting Medan kali ini rasanya lama banget. Rasanya seperti di konsinyir (istilah yang kami, mantan taruna dekil bau matahari, pakai yang artinya adalah dihukum tidak boleh pulang ke rumah). Meskipun tidak terlalu ngefek ke performa terbang gue, tetep saja lebih enak terbang dengan kondisi hati dan pikiran yang positif dibandingan dengan kondisi mental yang butek. 


Dan, biasanya, diet gue berjalan dengan lancar. Gue bisa menahan lapar seharian dan berujung hanya makan satu porsi capcay seafood dan empat potong tahu goreng isi. Tapi kali ini, gue rasanya ingin membatalkan diet gue dan memakan segala makanan yang mau gue makan. Untungnya gue masih bisa menahan untuk nggak mengunyah nasi dan roti, tapi sayangnya iman gue kurang kuat untuk menahan godaan Nastar Medan buatan Dapur Reuni ini.

Pertama kali gue mencoba nastar yang ukurannya hampir setengah telapak tangan gue ini adalah ketika posting Medan terakhir gue dengan Kapten Aditya Hergiantomo. Di tengah perjalanan kami dari Padang menuju Singapura, beliau mengeluarkan kotak kecil bernuansa kuning berhiaskan buah nanas. "Nan, ayo, Nan," kata beliau. Berat rasanya untuk menolak, karena gue sedang diet karbohidrat dan gula, tapi orang mana yang menolak rezeki, kan? 


Gue ambillah satu buah. Awalnya gue agak kaget dengan bentuknya yang tidak sekecil nastar pada umumnya. Lebar, bos! Udah lebar, padet pula. Dalam hati gue menenangkan diri, wes nggak apa-apa. Makan kue satu nggak bakal naik lima kilo juga, kali! Pas banget gue tengah kelaparan, akhirnya gue buka bungkusannya dan gue cemilin. Jujur, gue eman-eman, karena enak banget. 

Dibandingkan dengan Kue Nastar yang biasa kita makan saat lebaran, Nastar Medan ini berbentuk lebih besar, agak lebih pipih, lebih berhias dan menarik perhatian, dan termasuk padat. Adonan kuenya tidak gampang rontok, begitu juga dengan taburan keju panggang di atasnya. Dan, Nastar Medan ini tidak hanya sekedar dibentuk bulat, tapi ada tanduk-tanduk kecil di sekelilingnya yang membuat kue tersebut terlihat seperti landak (atau sisik di kulit dinosaurus. Pilih mana?). 

Isinya, seperti biasa, nanas. Manisnya tidak berlebihan, pas, seperti selai nanas yang biasa Ibu buat di rumah dulu saat beliau masih rajin membuat Kue Nastar. Selainya pun tidak terlalu basah, pas di lidah, dan serabut-serabut buah nanasnya cukup kenyal. Jujur, gue suka banget sama Nastar Medan ini. Lebih dari Kue Nastar yang biasa Ibu beli di Pasar Sumberarta menjelang Lebaran. 

Satu kotaknya isi empat buah kue dengan harga Rp18.000,00. Memang agak mahal, tapi cukup menyenangkan hati untuk dicemilin sendiri, ataupun dibawa ke rumah sebagai oleh-oleh. Ini aja gue udah gagal diet gara-gara nggak kuat untuk ngegayem sebiji. 



Friday, March 9, 2018

Posting di Medan

Adalah sebuah kebahagiaan tersendiri kalau gue dikasih jadwal untuk dinas di Medan. Selain dari makanannya yang ciamik, yang berhasil membuat gue naik beberapa kilo, gue pun bahagia karena gue menjalani kehidupan yang gue impi-impikan dari dulu: terbang, jalan-jalan, dan dibayar; belum lagi dikasih tempat tinggal dan air hangat untuk mandi. Ngantongin beberapa kilo lemak saat pulang ke Bekasi sih setimpal harganya dengan pengalaman yang gue dapet di sini, belum lagi rasanya senang banget ketika gue pulang ke rumah dan bawain Ibu gue satu kotak Meranti rasa Keju Keju. Nggak sampai lima hari, itu kue ludes dicemilin sama Ibu gue (segitu doyannya sama Meranti), padahal beliau jarang banget makan.

Beberapa bulan yang lalu, saat pertama kali gue didinaskan di Medan, belum ada penerbangan direct ke Kualanamu dari Jakarta. Gue harus singgah sebentar di negara tetangga untuk pindah pesawat karena saat itu cuma baru ada penerbangan rute KUL - KNO saja. Tambah seneng, dong! Beberapa jam di Kuala Lumpur sih cukup untuk gue jajan paket makan siang dari Subway dan semangkuk Laksa bikinan Yong Tau Fu. Setelah kenyang jajan, gue pun segera memasuki pesawat yang akan membawa gue ke Kota Melayu Deli.

Bukan Laksa, tapi semangkuk bakmi dengan kuah kari, lengkap dengan beberapa potong gorengan dan bakso ikan yang boleh gue pilih sesuka hati. Kalau nggak salah harganya hanya sekitaran 16RM, tapi gue sangat teramat puas dan kenyang. Asli, kental dan gurih karinya ngalahin Indomie Kari Ayam yang gue dewa-dewakan. Pas baru jadi sih masih panas banget, lidah gue sempet melepuh karena gue paksa makan saking nggak kuatnya nahan air liur yang udah rembes, tapi nggak menyesal sekali pun. 

Ini gue jajannya di Yong Tau Fu, terminal KLIA2, saat mau menuju gate Q untuk boarding ke pesawat gue. Jajannya bareng salah satu kapten gue yang kebetulan saat itu satu pesawat dan akan dinas di Medan juga. Halo, Capt. Novan! 



Sesampainya gue di Kualanamu, seperti biasa gue linglung dan celingak-celinguk karena terlalu bersemangat dengan suasana baru tapi buta arah mengenai gue mau ke mana, sama siapa, dan naik apa. Untuk ke flops (gue nyari di kamus nggak nemu arti dari flops apa, itu pun bahasa Inggris atau bahasa Indonesia pun gue nggak tau, tapi artinya adalah kantornya pilot. Tolong dikoreksi kalau salah, ya.) AirAsia pun gue susah karena nggak ngerti dengan arahan, "Hmm, aduh gue bingung ngejelasinnya, Kin. Pokoknya di situ, deh!" dari salah satu rekan kerja gue. 

Untungnya, entah kenapa gue beruntung banget jadi orang, gue ketemu adik-adik asuh gue semasa masih tinggal di barak: Rury, Dinda, dan Vivi. Mereka lagi OJT (On the Job Training) di Medan untuk enam bulan ke depan. Astaga, senangnya nggak karuan ketemua wajah-wajah yang dikenal di tempat yang sangat sangat asing. 

Tapi, itu masih penempatan dinas gue di Medan yang pertama. Di dinas gue yang kedua, ketiga, dan keempat, gue mulai berasa nyaman dan kenal dengan seluk beluk Kualanamu yang kecil dan tergolong sepi ini. 


Di hotel tempat gue menginap, ada sebuah toko oleh-oleh yang isinya segala macem ada. Ya Keripik Pisang Kepok asal Lampung, ya Meranti, ya Gudeg khas Jogja, ya mecin-mecinan asal Bandung, semuanya ada! Gue sampai bingung, dan sedikit kesal karena gue hampir saja ngeluarin Rp36.000,00 untuk sekaleng Gudeg, saking lengkapnya tempat oleh-oleh ini. Namanya HUB, cuma jalan 10 menit dari kamar gue. 

Karena bingung mau jajan apa saking banyaknya, akhirnya pilihan gue tertuju pada es krim yang ternyata adalah produk asal Medan dengan nama Pop Eyes Popsicle. Varian rasanya lebih dari sepuluh, dari yang buah-buahan sampai yang rasa kekinian, seperti Thai Tea, Green Tea, Cookies and Cream, dan Strawberry Yogurt. Hanya dengan tiga lembar kertas jingga bergambarkan Tuanku Imam Bondjol, gue bisa menikmati jajanan dingin ini di bangku depan HUB ditemani dengan sekotak Ice Blast. 

Awalnya cuma satu rasa yang gue beli, si putih susu Strawberry Yogurt yang ternyata adalah frozen yogurt yang dihiaskan dua potong buah stroberi tipis di permukaannya. Rasanya kecut manis, selayaknya rasa susu yang diolah sedemikian rupa untuk menjadi yogurt. Buah stroberinya pun kecut, tapi tetap enak untuk dicemilin. 

Tapi, rasanya nggak afdol kalau nggak nyobain apapun yang berjudul "Cookies and Cream", jadi lah gue beli lagi. Bukan yogurt, tapi krim rasa vanilla yang dilengkapi dengan kepingan biskuit Oreo. Juara, sih, es krim yang satu ini. Tapi, tergantung selera kalian yang mana, pasti itu yang paling enak.





Pernah ada saat di mana gue dan dua teman seangkatan gue didinaskan di Medan di waktu yang bersamaan. Namanya Aloy dan Sage. Dengan bermodalkan mobil antar jemput dari hotel, kami bertiga berhasil meninggalkan kawasan penginapan dan mencicipi makanan lokal warga sekitar. Yang pertama sudah pasti Dedy Durian, tempat langganan durian seluruh crew AirAsia yang menginap di Wings Hotel. 

Penawaran tiga buah durian untuk harga Rp90.000,00, sih, menurut gue nggak terlalu mahal kalau mau dibandingin dengan di Jakarta, ya. Pernah gue beli durian di toko buah yang cukup dikenal oleh banyak orang dan durennya nggak manis blas. Mau tau berapa harganya? Kembalian dua puluh ribu dari selembar seratusan. Kesel nggak jadi gue? 

Di Dedy Durian ini, durennya manis dan lembut. Nggak terlalu pahit dan nggak terlalu beralkohol, pas banget untuk gue. Saking bersemangatnya, gue sampai lupa hitung berapa potong yang udah gue makan. Di saat Aloy dan Sage menyenderkan badan di kursi sambil ngelus-ngelus perut, gue masih bertahan dengan durian yang gue makan. "Mau tambah, kak," tanya salah satu abang penjualnya. "Tambah satu, bang," gue balas, yang kemudian disambut dengan ekspresi "Gila lo masih kuat?" dari Aloy. 






Malam kami belum berakhir di situ. Setelah puas dengan durian Dedy, kami menelusuri beberapa meter jalan Batang Kuis untuk mencari makanan khas warga lokal lainnya. Sayangnya, nggak banyak pilihan di daerah sini, dan kebanyakan makanannya adalah makanan kaki lima yang mungkin ada juga di Jakarta. Seperti Sate Padang, contohnya. Meskipun dagingnya kecil-kecil, dan tempat jualannya bersebelahan dengan tukang jual bensin enceran, Sate Padang ini cukup gurih dan enak untuk dicemilin. 

Satu porsinya isi sepuluh tusuk dengan beberapa potong lontong, taburan bawang goreng, dan sejumput kerupuk berwarna merah jambu yang jarang sekali gue lihat. Nggak kenyang, sih, meskipun kalau satu porsi dimakan sendiri. Potongan dagingnya kecil-kecil banget, ngalahin kecilnya Sate Taichan. Kelingking gue aja lebih gemuk daripada sate ini. 



Belum puas dengan durian dan Sate Padang, kami mampir lagi di salah satu tempat makan yang menjual bakso. Bakso Mas Tori namanya, tempatnya kecil dengan penerangan yang sederhana, namun cukup. Nggak banyak pelanggan yang tengah memesan bakso di tempat makan Mas Tori ini, sehingga kami bisa mendapat meja dengan gampangnya. Rasa kenyang di perut bukanlah halangan bagi rasa penasaran akan makanan khas Medan, tapi kami sadar diri dengan rasa begah yang mulai memuncak, akhirnya pilihan makanan tertuju pada semangkuk bakso seharga Rp6.000,00. "Eh, tambahin semur, lah," saran salah seorang diantara kami bertiga yang gue lupa siapa. Jadi, lah, gue mengeluarkan sekeping seribuan dari kantung celana. 

Kalau mau dibilang makanan khas Medan, sih, bukan, ya. Bakso Semur ala Bakso Mas Tori ini sepertinya sama saja dengan bakso mas-mas dan abang-abang lainnya yang bisa kalian temuin di Jakarta, atau di daerah rumah kalian. Nggak ada yang spesial dari bakso ini, terlebih lagi semurnya. Hanya sedikit memuaskan rasa penasaran kami. Untungnya rasa sebanding dengan jumlah uang yang dikeluarkan. 



Makan. Makan. Makan terus. Selain makanan, rute terbang dari Medan pun memberikan gue kebahagian yang nggak bisa gue dapat kalau dibandingkan dengan rute terbang Jakarta. Pemandangannya cantik, banyak yang dilihat, cuacanya kebanyakan cerah meskipun kadang suka berawan, jarang sekali ada badai, rekan kerja yang sangat ramah, dan, yang paling utama, gue bisa bertegur sapa dengan kawan-kawan gue yang ada di Rengat.

Rengat itu adalah markas kedua STPI. Dengan alat navigasi bernama AD (baca: Alpha Delta), gue bisa tahu di mana letak Bandar Udara Japura yang sekarang tengah dihuni dengan beberapa penerbang angkatan 68, instruktur-instruktut favorit gue, dan pentolan ATC (Air Traffic Controller) bernama Bang Jimmy. 

Baru saja kemarin, ditengah perjalanan gue dari Kualanamu menuju Palembang, gue berhasil menghubungi Bang Jimmy di frekuensi 118.2. "Japura Japura PK-AXV radio check how do you read me," ucap gue dengan semangat dari ruang kemudi. Kapten gue, yang adalah alumni Curug seperti gue, pun semangat menunggu balasannya dari sebelah gue. "PK-AXV Japura reading you clear ma'am," balasnya. Sayangnya pembicaraan kami terhenti karena ada tabrakan antar frekuensi. Patah-patah gue mendengar, "Kinan, kah?" dari radio. Langsung gue menengok ke kapten dan menjerit, "Kep kep bisa kep!". Ternyata itu benar Bang Jimmy. Hutang kontekan udah saya bayar ya, Bang! 


Pernah juga waktu dinas gue di Medan yang ke.. berapa, ya, lupa. Gue menerbangi rute perdana KNO - SIN - PDG dengan Kapten Gerardus Rahyanto. Seketika kami mendarat di Medan, pesawat kami disambut dengan water salutation atas berhasilnya penerbangan perdana kami. Di kanan kiri pesawat ada sepasang mobil pemadam kebakaran yang menyemburkan air dengan cantiknya, menghujani pesawat kami. Lumayan lah, cuci pesawat. Dan ketika kami turun sebentar untuk mengurus dokumen imigrasi, beberapa staff AirAsia tengah merayakan keberhasilan rute perdana ini di salah satu restoran yang ada di bandara. Namanya Sabana. Gue dan kapten gue dijajanin satu kota nasi dengan sayur dan lauk pauk masing-masing. Nggak mau rugi, gue ambil telur dadar, rendang, sayur daun singkong, dan tumis toge. Sepulangnya gue ke rumah dan berkaca, gue merasa jijik dengan tambahan lemak di pinggang.


Banyak makanan khas daerah yang berhasil gue cicipi langsung dari tempat asalnya semenjak gue pecah telur memakai bar dua. Baik itu Gudeg dari Jogja, lumpia dan tahu bakso khas Semarang, batagor dari Bandung, Rujak Kolam asal Medan, Nasi Pedas Bali saat terbang ke Denpasar, semua sudah gue cicipi. Masih banyak daftar makanan yang belum gue coba. Tapi, akhirnya gue kesampaian untuk mencoret Pempek asal Palembang dari daftar tersebut. 

Hari yang sama di mana gue berhasil menghubungi Bang Jimmy di frekuensi 118.2, gue mencicipi Pempek asli dari Palembang. Capt. Aditya Hergiantomo, salah satu kapten yang gue kenal doyan makan, doyan ngopi, dan doyan menjelajahi sesuatu yang baru. Setelah kami mendarat di Palembang, Kapten Adit seketika meninggalkan gue di ruang kemudi untuk waktu yang nggak sebentar. Balik-balik, beliau membawa satu kantung besar berisikan dua mangkuk Pempek dan satu kemasan jumbo Kerupuk Palembang. "Nih, Nan," kata Beliau sambil menyodori gue mangkuk plastik bertuliskan "Beringin". Orang paling baik di dunia ini adalah orang yang memberikan gue makanan. Titik.

Pempek yang dibeli di Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II ini nggak digoreng, melainkan dikukus dan dihangatkan kembali di Microwave sebelum dibungkus dalam mangkuk plastik. Disajikan dengan sangat sederhana, hanya Pempek dan bumbunya yang diplastikin, Pempek ini tetap saja berhasil membuat gue bersimbah air liur saat membuka tutup mangkuknya. Nggak kenyal, cukup lembut untuk dikunyah, dan berisikan telur yang cukup manusiawi besarnya untuk yang Pempek Kapal Selam. Enak dan mengenyangkan, meskipun nggak renyah karena nggak digoreng sebelumnya. Bumbunya pedas dan kecut, beda dengan bumbu Pempek lainnya yang pernah gue makan sebelumnya. Udah pasti Pempek ecek-ecek yang gue beli di Bekasi kalah keasliannya kalau dibandingkan dengan yang ini. 




Selain Dedi Durian, ada lagi tempat makan durian yang digemari warga sekitar, tapi nggak banyak orang yang tahu, yaitu Lambok Durian di daerah Tembung. Malam itu, gue memberanikan diri untuk memesan Go-Car dan pergi ke Tembung dengan dua adik asuh gue, Rury dan Dinda. Vivi nggak bisa ikut karena waktu itu harus menunggu senior jurusannya yang tinggal satu rumah. Hampir tiga puluh menit perjalanan dari Batang Kuis ke Tembung, dan gue berpura-pura menjadi salah satu dari komplotan taruni OJT seperti Rury dan Dinda karena gue nggak mau orang tahu bahwa gue adalah pilot. 

Tempatnya kumuh, seperti pasar basah yang biasa didatangi Ibu-ibu di pagi hari. Durian bertaburan di tanahnya, dari yang paling kecil sampai yang sebesar bayi baru lahir. Kursi dan meja tersedia untuk pelanggan yang mau makan di tempat. Abang-abang penjualnya masih muda-muda dan pintar sekali membujuk. "Kak, mau durian, kah? Ayo lah duduk Kak, nanti saya pilihkan yang enak. Boleh ditukar, kok, kalau tidak enak," ucap salah satu dari mereka. "Murah saja ini, Kak, tiga buah seratus ribu. Boleh ditukar, kok, kalau jelek." Gue langsung jongkok di tempat dan memilih durian mana yang mau gue nikmati.

Tiga durian sudah gue pilih dan ukurannya besar-besar. Dagingnya lebih kuning kalau dibandingkan dengan durian dari Dedi Durian. Empuk-empuk, lebih sedikit beralkohol dan sedikit lebih pahit. Favorit gue tetap saja Dedi Durian, tapi durian dari Lambok Durian ini juga nggak kalah enaknya, tentu saja dengan ciri khas rasa yang berbeda dari kedua tempat santap durian. Ujung-ujungnya kami bertiga berhasil menghabiskan, kurang lebih, satu buah durian masing-masing dan pulang ke hotel dengan celengnya. 




Lihat betapa bahagianya muka gue di foto ini? 




Ada kalanya saat malas datang menyerag dan gue sama sekali nggak berhasrat untuk meninggalkan kamar. Alhasil gue memesan makanan yang disediakan hotel, seperti sore ini. Semangkuk Capcay Seafood dan satu porsi Tahu Gejrot yang hanya menghabiskan tiga perlima dari selembar seratus ribu, yang hanya tersisa beberapa lembar lagi di dompet gue. Itu pun udah termasuk pajak. Cukup manusiawi, kok, untuk ukuran makanan hotel.

Capcay Seafoodnya seperti nggak mengandung makanan laut karena hanya ada dua potong udang dan beberapa potong cumi. Gue bahagia karena taburan bawang gorengnya yang melimpah. Cukup gurih, cukup memuaskan kehausan gue akan mecin dan bumbu yang enak, dan cukup mengenyangkan. Yang disayangkan adalah bahwa udangnya nggak dibersihkan dengan baik. Punggungnya masih menyimpan kotoran yang seharusnya dibuang. Tapi, karena lapar, tetep aja gue telan. 

Tahu Gejrotnya lebih seperti tahu isi goreng tepung. Bumbunya pun bumbu kacang, bukan bumbu pedas manis berbasis gula jawa. Lebih gue suka kalau dibandingkan dengan Capcay Seafood-nya. 



Tentu saja gue harus berbagi kebahagiaan dengan orang rumah. Nggak lupa gue memenuhi salah satu tas yang gue bawa dengan beberapa kotak Meranti dan beberapa kotak Bika Ambon Zulaikha. Pernah gue juga membawa dua kantung Kerupuk Jangek Balado (atau nama lainnya Kerupuk Kulit) dan membaginya dengan bibi di rumah, juga sekantung Kopi Medan yang gue oleh-olehkan untuk salah satu teman gue yang lagi gemarnya kopi single origin. 

Beberapa hari lagi gue pun akan pulang. Agak sedih, tapi untungnya akhir bulan nanti akan ada lagi jadwal dinas di Medan. Tunggu, ya.