Mohon maaf atas judul yang sangat tidak mengundang ini, kekreativitasan gue sudah gue kerahkan seluruhnya untuk mengedit video sedari jam sembilan pagi tadi. Video apa, kalian tanya. Tunggu tanggal mainnya, ya.
Biasanya gue senang didinaskan di luar Jakarta, tapi entah kenapa, posting Medan kali ini rasanya lama banget. Rasanya seperti di konsinyir (istilah yang kami, mantan taruna dekil bau matahari, pakai yang artinya adalah dihukum tidak boleh pulang ke rumah). Meskipun tidak terlalu ngefek ke performa terbang gue, tetep saja lebih enak terbang dengan kondisi hati dan pikiran yang positif dibandingan dengan kondisi mental yang butek.
Dan, biasanya, diet gue berjalan dengan lancar. Gue bisa menahan lapar seharian dan berujung hanya makan satu porsi capcay seafood dan empat potong tahu goreng isi. Tapi kali ini, gue rasanya ingin membatalkan diet gue dan memakan segala makanan yang mau gue makan. Untungnya gue masih bisa menahan untuk nggak mengunyah nasi dan roti, tapi sayangnya iman gue kurang kuat untuk menahan godaan Nastar Medan buatan Dapur Reuni ini.
Pertama kali gue mencoba nastar yang ukurannya hampir setengah telapak tangan gue ini adalah ketika posting Medan terakhir gue dengan Kapten Aditya Hergiantomo. Di tengah perjalanan kami dari Padang menuju Singapura, beliau mengeluarkan kotak kecil bernuansa kuning berhiaskan buah nanas. "Nan, ayo, Nan," kata beliau. Berat rasanya untuk menolak, karena gue sedang diet karbohidrat dan gula, tapi orang mana yang menolak rezeki, kan?
Gue ambillah satu buah. Awalnya gue agak kaget dengan bentuknya yang tidak sekecil nastar pada umumnya. Lebar, bos! Udah lebar, padet pula. Dalam hati gue menenangkan diri, wes nggak apa-apa. Makan kue satu nggak bakal naik lima kilo juga, kali! Pas banget gue tengah kelaparan, akhirnya gue buka bungkusannya dan gue cemilin. Jujur, gue eman-eman, karena enak banget.
Dibandingkan dengan Kue Nastar yang biasa kita makan saat lebaran, Nastar Medan ini berbentuk lebih besar, agak lebih pipih, lebih berhias dan menarik perhatian, dan termasuk padat. Adonan kuenya tidak gampang rontok, begitu juga dengan taburan keju panggang di atasnya. Dan, Nastar Medan ini tidak hanya sekedar dibentuk bulat, tapi ada tanduk-tanduk kecil di sekelilingnya yang membuat kue tersebut terlihat seperti landak (atau sisik di kulit dinosaurus. Pilih mana?).
Isinya, seperti biasa, nanas. Manisnya tidak berlebihan, pas, seperti selai nanas yang biasa Ibu buat di rumah dulu saat beliau masih rajin membuat Kue Nastar. Selainya pun tidak terlalu basah, pas di lidah, dan serabut-serabut buah nanasnya cukup kenyal. Jujur, gue suka banget sama Nastar Medan ini. Lebih dari Kue Nastar yang biasa Ibu beli di Pasar Sumberarta menjelang Lebaran.
Satu kotaknya isi empat buah kue dengan harga Rp18.000,00. Memang agak mahal, tapi cukup menyenangkan hati untuk dicemilin sendiri, ataupun dibawa ke rumah sebagai oleh-oleh. Ini aja gue udah gagal diet gara-gara nggak kuat untuk ngegayem sebiji.
No comments:
Post a Comment