Showing posts with label kuala lumpur. Show all posts
Showing posts with label kuala lumpur. Show all posts

Monday, September 17, 2018

Q11

Setiap gue terbang ke Kuala Lumpur, sebisa mungkin gue selalu menyempatkan diri untuk mampir ke kantin pekerja. Nggak semua pilot tau adanya surga dunia ini. Letaknya persis di bawah papan tanda parkir Q11, ada dua pintu lebar yang salah satunya selalu terbuka dan pasti ada, minimal, 2 mobil terparkir rapi di depannya. Gue menyebutnya Kantin Q11.

Gue baru tau bahwa kantin ini ada setelah gue pindah ke Surabaya. Semasa gue terbang dari Jakarta, boro-boro mampir, tau aja nggak. “Aku tak jajan sek, ya,”ucap salah satu kapten gue sesampainya kami di Bandar Udara Internasional Sepang. Waktu itu adalah penerbNgan pertama gue ke Kuala Lumpur setelah pindah ke Surabaya. Gue bingung, kapten mau jajan di mana. Baru setelah beliau kembali ke pesawat membawa gembolan kresek berisi nasi kambing dua porsi gue tau mengenai tempat jajan mewah nan murah tersebut.


Salah satu jajanan yang sering gue beli, selain nasi dan lauk pauk, adalah susu merek Dutch Lady. Konon katanya susu ini dulu beredar di pasaran Indonesia, jaman Ibu gue masih rajin manjat gunung dan Bapak gue tengah dipukulin di barak Juliet, tapi sekarang udah nggak kelihatan batang hidungnya.

Dutch Lady ini pertama kali dikenalkan oleh kapten gue yang langganan borong susu dengan varian tiga rasa ini minimal setengah lusin setiap kalinya mampir ke Kantin Q11. “Kamu mau rasa coklat, atau stroberi,” tanya beliau. “Terima kasih, Capt, saya nggak usah nggak apa-apa. Lagi diet soalnya,”balas gue. Dasar memang F.O. nggak tau diri. Rezeki, kok, ditolak. “Lho, sampeyan mau, atau nggak?” Ya, mau lah! Tapi, kan, lagi diet. Bagaimana, dong? “Wong sampeyan wes kurus gitu, kok, masih mau diet. Coklat, atau stroberi?” Akhirnya gue menyerah. “Stroberi, Capt, hehehe.”


Bentukan kemasan yang sangat mirip dengan kemasan susu kotak garapan Indomilk. Susunya sangat pekat dan berat, krimnya terasa banget. Perisa stoberinya, meskipun gue tau bukan dari buah stroberi asli, tetap terasa wajar di lidah. Nggak terlalu manis dan cenderung gurih sebagaimana susu itu gurih. Dijamin kenyangnya kalau udah minum susu Dutch Lady ini, tapi harus gue akui hanya untuk setengah jam pertama setelah susunya abis saja. 

Friday, March 9, 2018

Posting di Medan

Adalah sebuah kebahagiaan tersendiri kalau gue dikasih jadwal untuk dinas di Medan. Selain dari makanannya yang ciamik, yang berhasil membuat gue naik beberapa kilo, gue pun bahagia karena gue menjalani kehidupan yang gue impi-impikan dari dulu: terbang, jalan-jalan, dan dibayar; belum lagi dikasih tempat tinggal dan air hangat untuk mandi. Ngantongin beberapa kilo lemak saat pulang ke Bekasi sih setimpal harganya dengan pengalaman yang gue dapet di sini, belum lagi rasanya senang banget ketika gue pulang ke rumah dan bawain Ibu gue satu kotak Meranti rasa Keju Keju. Nggak sampai lima hari, itu kue ludes dicemilin sama Ibu gue (segitu doyannya sama Meranti), padahal beliau jarang banget makan.

Beberapa bulan yang lalu, saat pertama kali gue didinaskan di Medan, belum ada penerbangan direct ke Kualanamu dari Jakarta. Gue harus singgah sebentar di negara tetangga untuk pindah pesawat karena saat itu cuma baru ada penerbangan rute KUL - KNO saja. Tambah seneng, dong! Beberapa jam di Kuala Lumpur sih cukup untuk gue jajan paket makan siang dari Subway dan semangkuk Laksa bikinan Yong Tau Fu. Setelah kenyang jajan, gue pun segera memasuki pesawat yang akan membawa gue ke Kota Melayu Deli.

Bukan Laksa, tapi semangkuk bakmi dengan kuah kari, lengkap dengan beberapa potong gorengan dan bakso ikan yang boleh gue pilih sesuka hati. Kalau nggak salah harganya hanya sekitaran 16RM, tapi gue sangat teramat puas dan kenyang. Asli, kental dan gurih karinya ngalahin Indomie Kari Ayam yang gue dewa-dewakan. Pas baru jadi sih masih panas banget, lidah gue sempet melepuh karena gue paksa makan saking nggak kuatnya nahan air liur yang udah rembes, tapi nggak menyesal sekali pun. 

Ini gue jajannya di Yong Tau Fu, terminal KLIA2, saat mau menuju gate Q untuk boarding ke pesawat gue. Jajannya bareng salah satu kapten gue yang kebetulan saat itu satu pesawat dan akan dinas di Medan juga. Halo, Capt. Novan! 



Sesampainya gue di Kualanamu, seperti biasa gue linglung dan celingak-celinguk karena terlalu bersemangat dengan suasana baru tapi buta arah mengenai gue mau ke mana, sama siapa, dan naik apa. Untuk ke flops (gue nyari di kamus nggak nemu arti dari flops apa, itu pun bahasa Inggris atau bahasa Indonesia pun gue nggak tau, tapi artinya adalah kantornya pilot. Tolong dikoreksi kalau salah, ya.) AirAsia pun gue susah karena nggak ngerti dengan arahan, "Hmm, aduh gue bingung ngejelasinnya, Kin. Pokoknya di situ, deh!" dari salah satu rekan kerja gue. 

Untungnya, entah kenapa gue beruntung banget jadi orang, gue ketemu adik-adik asuh gue semasa masih tinggal di barak: Rury, Dinda, dan Vivi. Mereka lagi OJT (On the Job Training) di Medan untuk enam bulan ke depan. Astaga, senangnya nggak karuan ketemua wajah-wajah yang dikenal di tempat yang sangat sangat asing. 

Tapi, itu masih penempatan dinas gue di Medan yang pertama. Di dinas gue yang kedua, ketiga, dan keempat, gue mulai berasa nyaman dan kenal dengan seluk beluk Kualanamu yang kecil dan tergolong sepi ini. 


Di hotel tempat gue menginap, ada sebuah toko oleh-oleh yang isinya segala macem ada. Ya Keripik Pisang Kepok asal Lampung, ya Meranti, ya Gudeg khas Jogja, ya mecin-mecinan asal Bandung, semuanya ada! Gue sampai bingung, dan sedikit kesal karena gue hampir saja ngeluarin Rp36.000,00 untuk sekaleng Gudeg, saking lengkapnya tempat oleh-oleh ini. Namanya HUB, cuma jalan 10 menit dari kamar gue. 

Karena bingung mau jajan apa saking banyaknya, akhirnya pilihan gue tertuju pada es krim yang ternyata adalah produk asal Medan dengan nama Pop Eyes Popsicle. Varian rasanya lebih dari sepuluh, dari yang buah-buahan sampai yang rasa kekinian, seperti Thai Tea, Green Tea, Cookies and Cream, dan Strawberry Yogurt. Hanya dengan tiga lembar kertas jingga bergambarkan Tuanku Imam Bondjol, gue bisa menikmati jajanan dingin ini di bangku depan HUB ditemani dengan sekotak Ice Blast. 

Awalnya cuma satu rasa yang gue beli, si putih susu Strawberry Yogurt yang ternyata adalah frozen yogurt yang dihiaskan dua potong buah stroberi tipis di permukaannya. Rasanya kecut manis, selayaknya rasa susu yang diolah sedemikian rupa untuk menjadi yogurt. Buah stroberinya pun kecut, tapi tetap enak untuk dicemilin. 

Tapi, rasanya nggak afdol kalau nggak nyobain apapun yang berjudul "Cookies and Cream", jadi lah gue beli lagi. Bukan yogurt, tapi krim rasa vanilla yang dilengkapi dengan kepingan biskuit Oreo. Juara, sih, es krim yang satu ini. Tapi, tergantung selera kalian yang mana, pasti itu yang paling enak.





Pernah ada saat di mana gue dan dua teman seangkatan gue didinaskan di Medan di waktu yang bersamaan. Namanya Aloy dan Sage. Dengan bermodalkan mobil antar jemput dari hotel, kami bertiga berhasil meninggalkan kawasan penginapan dan mencicipi makanan lokal warga sekitar. Yang pertama sudah pasti Dedy Durian, tempat langganan durian seluruh crew AirAsia yang menginap di Wings Hotel. 

Penawaran tiga buah durian untuk harga Rp90.000,00, sih, menurut gue nggak terlalu mahal kalau mau dibandingin dengan di Jakarta, ya. Pernah gue beli durian di toko buah yang cukup dikenal oleh banyak orang dan durennya nggak manis blas. Mau tau berapa harganya? Kembalian dua puluh ribu dari selembar seratusan. Kesel nggak jadi gue? 

Di Dedy Durian ini, durennya manis dan lembut. Nggak terlalu pahit dan nggak terlalu beralkohol, pas banget untuk gue. Saking bersemangatnya, gue sampai lupa hitung berapa potong yang udah gue makan. Di saat Aloy dan Sage menyenderkan badan di kursi sambil ngelus-ngelus perut, gue masih bertahan dengan durian yang gue makan. "Mau tambah, kak," tanya salah satu abang penjualnya. "Tambah satu, bang," gue balas, yang kemudian disambut dengan ekspresi "Gila lo masih kuat?" dari Aloy. 






Malam kami belum berakhir di situ. Setelah puas dengan durian Dedy, kami menelusuri beberapa meter jalan Batang Kuis untuk mencari makanan khas warga lokal lainnya. Sayangnya, nggak banyak pilihan di daerah sini, dan kebanyakan makanannya adalah makanan kaki lima yang mungkin ada juga di Jakarta. Seperti Sate Padang, contohnya. Meskipun dagingnya kecil-kecil, dan tempat jualannya bersebelahan dengan tukang jual bensin enceran, Sate Padang ini cukup gurih dan enak untuk dicemilin. 

Satu porsinya isi sepuluh tusuk dengan beberapa potong lontong, taburan bawang goreng, dan sejumput kerupuk berwarna merah jambu yang jarang sekali gue lihat. Nggak kenyang, sih, meskipun kalau satu porsi dimakan sendiri. Potongan dagingnya kecil-kecil banget, ngalahin kecilnya Sate Taichan. Kelingking gue aja lebih gemuk daripada sate ini. 



Belum puas dengan durian dan Sate Padang, kami mampir lagi di salah satu tempat makan yang menjual bakso. Bakso Mas Tori namanya, tempatnya kecil dengan penerangan yang sederhana, namun cukup. Nggak banyak pelanggan yang tengah memesan bakso di tempat makan Mas Tori ini, sehingga kami bisa mendapat meja dengan gampangnya. Rasa kenyang di perut bukanlah halangan bagi rasa penasaran akan makanan khas Medan, tapi kami sadar diri dengan rasa begah yang mulai memuncak, akhirnya pilihan makanan tertuju pada semangkuk bakso seharga Rp6.000,00. "Eh, tambahin semur, lah," saran salah seorang diantara kami bertiga yang gue lupa siapa. Jadi, lah, gue mengeluarkan sekeping seribuan dari kantung celana. 

Kalau mau dibilang makanan khas Medan, sih, bukan, ya. Bakso Semur ala Bakso Mas Tori ini sepertinya sama saja dengan bakso mas-mas dan abang-abang lainnya yang bisa kalian temuin di Jakarta, atau di daerah rumah kalian. Nggak ada yang spesial dari bakso ini, terlebih lagi semurnya. Hanya sedikit memuaskan rasa penasaran kami. Untungnya rasa sebanding dengan jumlah uang yang dikeluarkan. 



Makan. Makan. Makan terus. Selain makanan, rute terbang dari Medan pun memberikan gue kebahagian yang nggak bisa gue dapat kalau dibandingkan dengan rute terbang Jakarta. Pemandangannya cantik, banyak yang dilihat, cuacanya kebanyakan cerah meskipun kadang suka berawan, jarang sekali ada badai, rekan kerja yang sangat ramah, dan, yang paling utama, gue bisa bertegur sapa dengan kawan-kawan gue yang ada di Rengat.

Rengat itu adalah markas kedua STPI. Dengan alat navigasi bernama AD (baca: Alpha Delta), gue bisa tahu di mana letak Bandar Udara Japura yang sekarang tengah dihuni dengan beberapa penerbang angkatan 68, instruktur-instruktut favorit gue, dan pentolan ATC (Air Traffic Controller) bernama Bang Jimmy. 

Baru saja kemarin, ditengah perjalanan gue dari Kualanamu menuju Palembang, gue berhasil menghubungi Bang Jimmy di frekuensi 118.2. "Japura Japura PK-AXV radio check how do you read me," ucap gue dengan semangat dari ruang kemudi. Kapten gue, yang adalah alumni Curug seperti gue, pun semangat menunggu balasannya dari sebelah gue. "PK-AXV Japura reading you clear ma'am," balasnya. Sayangnya pembicaraan kami terhenti karena ada tabrakan antar frekuensi. Patah-patah gue mendengar, "Kinan, kah?" dari radio. Langsung gue menengok ke kapten dan menjerit, "Kep kep bisa kep!". Ternyata itu benar Bang Jimmy. Hutang kontekan udah saya bayar ya, Bang! 


Pernah juga waktu dinas gue di Medan yang ke.. berapa, ya, lupa. Gue menerbangi rute perdana KNO - SIN - PDG dengan Kapten Gerardus Rahyanto. Seketika kami mendarat di Medan, pesawat kami disambut dengan water salutation atas berhasilnya penerbangan perdana kami. Di kanan kiri pesawat ada sepasang mobil pemadam kebakaran yang menyemburkan air dengan cantiknya, menghujani pesawat kami. Lumayan lah, cuci pesawat. Dan ketika kami turun sebentar untuk mengurus dokumen imigrasi, beberapa staff AirAsia tengah merayakan keberhasilan rute perdana ini di salah satu restoran yang ada di bandara. Namanya Sabana. Gue dan kapten gue dijajanin satu kota nasi dengan sayur dan lauk pauk masing-masing. Nggak mau rugi, gue ambil telur dadar, rendang, sayur daun singkong, dan tumis toge. Sepulangnya gue ke rumah dan berkaca, gue merasa jijik dengan tambahan lemak di pinggang.


Banyak makanan khas daerah yang berhasil gue cicipi langsung dari tempat asalnya semenjak gue pecah telur memakai bar dua. Baik itu Gudeg dari Jogja, lumpia dan tahu bakso khas Semarang, batagor dari Bandung, Rujak Kolam asal Medan, Nasi Pedas Bali saat terbang ke Denpasar, semua sudah gue cicipi. Masih banyak daftar makanan yang belum gue coba. Tapi, akhirnya gue kesampaian untuk mencoret Pempek asal Palembang dari daftar tersebut. 

Hari yang sama di mana gue berhasil menghubungi Bang Jimmy di frekuensi 118.2, gue mencicipi Pempek asli dari Palembang. Capt. Aditya Hergiantomo, salah satu kapten yang gue kenal doyan makan, doyan ngopi, dan doyan menjelajahi sesuatu yang baru. Setelah kami mendarat di Palembang, Kapten Adit seketika meninggalkan gue di ruang kemudi untuk waktu yang nggak sebentar. Balik-balik, beliau membawa satu kantung besar berisikan dua mangkuk Pempek dan satu kemasan jumbo Kerupuk Palembang. "Nih, Nan," kata Beliau sambil menyodori gue mangkuk plastik bertuliskan "Beringin". Orang paling baik di dunia ini adalah orang yang memberikan gue makanan. Titik.

Pempek yang dibeli di Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II ini nggak digoreng, melainkan dikukus dan dihangatkan kembali di Microwave sebelum dibungkus dalam mangkuk plastik. Disajikan dengan sangat sederhana, hanya Pempek dan bumbunya yang diplastikin, Pempek ini tetap saja berhasil membuat gue bersimbah air liur saat membuka tutup mangkuknya. Nggak kenyal, cukup lembut untuk dikunyah, dan berisikan telur yang cukup manusiawi besarnya untuk yang Pempek Kapal Selam. Enak dan mengenyangkan, meskipun nggak renyah karena nggak digoreng sebelumnya. Bumbunya pedas dan kecut, beda dengan bumbu Pempek lainnya yang pernah gue makan sebelumnya. Udah pasti Pempek ecek-ecek yang gue beli di Bekasi kalah keasliannya kalau dibandingkan dengan yang ini. 




Selain Dedi Durian, ada lagi tempat makan durian yang digemari warga sekitar, tapi nggak banyak orang yang tahu, yaitu Lambok Durian di daerah Tembung. Malam itu, gue memberanikan diri untuk memesan Go-Car dan pergi ke Tembung dengan dua adik asuh gue, Rury dan Dinda. Vivi nggak bisa ikut karena waktu itu harus menunggu senior jurusannya yang tinggal satu rumah. Hampir tiga puluh menit perjalanan dari Batang Kuis ke Tembung, dan gue berpura-pura menjadi salah satu dari komplotan taruni OJT seperti Rury dan Dinda karena gue nggak mau orang tahu bahwa gue adalah pilot. 

Tempatnya kumuh, seperti pasar basah yang biasa didatangi Ibu-ibu di pagi hari. Durian bertaburan di tanahnya, dari yang paling kecil sampai yang sebesar bayi baru lahir. Kursi dan meja tersedia untuk pelanggan yang mau makan di tempat. Abang-abang penjualnya masih muda-muda dan pintar sekali membujuk. "Kak, mau durian, kah? Ayo lah duduk Kak, nanti saya pilihkan yang enak. Boleh ditukar, kok, kalau tidak enak," ucap salah satu dari mereka. "Murah saja ini, Kak, tiga buah seratus ribu. Boleh ditukar, kok, kalau jelek." Gue langsung jongkok di tempat dan memilih durian mana yang mau gue nikmati.

Tiga durian sudah gue pilih dan ukurannya besar-besar. Dagingnya lebih kuning kalau dibandingkan dengan durian dari Dedi Durian. Empuk-empuk, lebih sedikit beralkohol dan sedikit lebih pahit. Favorit gue tetap saja Dedi Durian, tapi durian dari Lambok Durian ini juga nggak kalah enaknya, tentu saja dengan ciri khas rasa yang berbeda dari kedua tempat santap durian. Ujung-ujungnya kami bertiga berhasil menghabiskan, kurang lebih, satu buah durian masing-masing dan pulang ke hotel dengan celengnya. 




Lihat betapa bahagianya muka gue di foto ini? 




Ada kalanya saat malas datang menyerag dan gue sama sekali nggak berhasrat untuk meninggalkan kamar. Alhasil gue memesan makanan yang disediakan hotel, seperti sore ini. Semangkuk Capcay Seafood dan satu porsi Tahu Gejrot yang hanya menghabiskan tiga perlima dari selembar seratus ribu, yang hanya tersisa beberapa lembar lagi di dompet gue. Itu pun udah termasuk pajak. Cukup manusiawi, kok, untuk ukuran makanan hotel.

Capcay Seafoodnya seperti nggak mengandung makanan laut karena hanya ada dua potong udang dan beberapa potong cumi. Gue bahagia karena taburan bawang gorengnya yang melimpah. Cukup gurih, cukup memuaskan kehausan gue akan mecin dan bumbu yang enak, dan cukup mengenyangkan. Yang disayangkan adalah bahwa udangnya nggak dibersihkan dengan baik. Punggungnya masih menyimpan kotoran yang seharusnya dibuang. Tapi, karena lapar, tetep aja gue telan. 

Tahu Gejrotnya lebih seperti tahu isi goreng tepung. Bumbunya pun bumbu kacang, bukan bumbu pedas manis berbasis gula jawa. Lebih gue suka kalau dibandingkan dengan Capcay Seafood-nya. 



Tentu saja gue harus berbagi kebahagiaan dengan orang rumah. Nggak lupa gue memenuhi salah satu tas yang gue bawa dengan beberapa kotak Meranti dan beberapa kotak Bika Ambon Zulaikha. Pernah gue juga membawa dua kantung Kerupuk Jangek Balado (atau nama lainnya Kerupuk Kulit) dan membaginya dengan bibi di rumah, juga sekantung Kopi Medan yang gue oleh-olehkan untuk salah satu teman gue yang lagi gemarnya kopi single origin. 

Beberapa hari lagi gue pun akan pulang. Agak sedih, tapi untungnya akhir bulan nanti akan ada lagi jadwal dinas di Medan. Tunggu, ya.


Saturday, October 7, 2017

God Bless Subway, and My Legs


I am currently stuck in a traffic, on my way home from Soekarno-Hatta International Airport, as I write this. I couldn't stop thinking about how I manage to deal with my simulator check while I was having a troubled heart. I managed to follow my logic which resulted in the passing of my series of line-oriented simulator. I could have done better though, I know it, but having an average passing mark is a fine baby step for the upcoming trials ahead. 

I finished my line-oriented simulator at 10 AM today. After pulling an almost all-nighter, because I was stressing out thinking about the exercises, I managed to do well on my one-engine takeoff. I didn't do well on my landing though, it's always been my problem since I was enrolled in STPI, but I passed anyway. 


The moment I got back to the hotel, I packed my stuff, took a nice long hot shower, checked out by the time the electricity of my room got cut off, and headed to the airport to check in. I got me a window seat at 19F, which was nice. After checking in and printing my boarding pass, I spend the remaining time that I had before the gate to my plane was open, so I spend it all at Subway. God bless Subway. 


Kuala Lumpur has Subways in its' airport, two substations of it at the departure building and at the arrival building. We don't have Subway here in Indonesia, which makes me love Kuala Lumpur just a little bit more than I love my home country. 

The moment I arrived at Kuala Lumpur a few days ago, I immediately went to the famous sandwich place to get me a custom foot-long. I always go for the Honey Oats bread because I like my food sweet. I don't like vegetables on my sandwich so I had none of that and stuck with the meat instead. I got the chicken slices and turkey slices, topped with some cheese, added some extra black pepper-mayo diced chicken meat, then finished it off with a thick line of thousand island sauce. Grilled, sliced, wrapped, and voila! I got me my lunch and dinner for the day. 

Since it was my last day at Kuala Lumpur today, I decided to wrap the show with Subway again. The line was pretty long as it was approximately lunch time, and I hadn't eat any food since last night, so I got pretty dizzy by just standing there among the crowd. I had to park my ass on my luggage to avoid getting collapsed. I really don't function well when I'm hungry. 



I got a complete meal that consisted of a 6-inch sandwich, a couple of cookies of my choice, and a glass of cold beverage. It costed 25.35RM and, boy, was it a good deal!

Like always, I go for the Honey Oats buns. I wasn't being picky today, so I just went for what caught my attention at first, which is the Steak and Cheese filling. And of course, I need to get some extra slices of meat, hence I added some turkey slices in it. Grilled to perfection, topped with a thin line of thousand island sauce and honey mustard sauce, and lunch was served. 

As for the cookies, I went for the White Chocolate Macadamia Cookies that seemed like the most appealing compared to the other basic cookies. As the staff handed me my food, they also gave me a plastic cup to be filled with the choice of cold beverages that they have in stock. I was amazed by the fact that they use a self-service system regarding the beverages, I mean, if I were evil enough I would just refill the hell out of that cup. 

Or, maybe, it is refillable and I'm just being kampungan? (Sengotot itu pake kata "kampungan" gara-gara nggak tau bahasa inggrisnya apa. Yang pasti bukan "villagers" oke, Git, Ngel?) 


I spend my afternoon munching on sandwich at Subway while catching up on my daily comedy of Webtoon. I was reading the Terlalu Tampan comic by the dynamic duo, Avisiena and Savenia. It cracked me up so much I was laughing by myself at the corner of the sandwich booth. Man, I miss having a quality time with myself. 


After I finished my lunch, I rushed to the immigration to get my passport stamped and I was unlucky as it had long lines at every booth that were available. I had to spend almost more than half an hour waiting in line. Finally, after I passed through it, I dashed to my gate as it was only five minutes left before it closes at that time and, to my surprise, the flight ended up getting retimed for an hour. I bet my legs will feel pretty sore tomorrow after all that running at the airport.