Selamat datang di Bandara Adi Soemarmo |
Kedatangan gue di Solo disambut dengan curah hujan yang cukup lebat. 45 menit lamanya perjalanan dari Bandara Adi Soemarmo ke penginapan gue yang letaknya di pengkolan Jalan Diponegoro karena, “Di jalan yang biasa kami lewati sedang ada pembangunan underpass, jadinya saya lewat jalan lain. Agak macet, jadi mungkin agak lama nyampe hotelnya, Bu,” kata Pak Andi. Pak Andi itu supir yang menjemput kami di bandara. Orangnya gempal, kulit sawo matang, pendiam.
Omah Sinten. Memang beneran di pengkolan letaknya. Dari luar kelihatannya kecil, mungkin karena waktu itu matahari sudah terbenam, penglihatan gue mulai berkurang; ya semacam rabun ayam gitu, deh. Kamar gue dan Ibu terletak di lantai 3, di depan kamar disediakan meja kecil, sepasang kursi, dan asbak. “Kalau mau merokok boleh di luar kamar,” kata salah satu Bapak yang adalah staff dari Omah Sinten. Nggak tau namanya siapa.
Gue dan Ibu sempat leyeh-leyeh sebentar dikamar, membakar beberapa rokok, lalu kemudian beranjak dari tempat ngaso depan kamar kami yang adem dan teduh banget untuk mencari makan. Saat itu, hujan sudah reda. “Pak, Sumber Bestik ke arah mana, ya” tanya Ibu dengan Pak Andi yang tengah nongkrong di teras hotel dengan salah satu petugas parkir hotel. Ya, semacam Pak Ogah, gitu. “Kan, matahari sebelah sana,” lanjut Ibu sambil mengarahkan tangannya ke jalan, “terus abis itu ke mana?”. Sesaat gue bingung, sejak kapan nyokap gue bisa nunjukin arah pake mata angin? “Matahari kan di sana, Ibu lurus terus, nanti ada di sebelah Selatan,” balas Pak Andi. Fak, gue makin bingung.
Pilihan transportasi tertuju antara Go-Car dan jalan kaki. Kalau pakai Go-Car cuma tiga menit, sedangkan jalan kaki tambah 17 menit lagi. Mumpung kami lagi di Tanah Solo, berusul lah gue untuk memakai becak sebagai alat transportasi. Eh, bener aja, tiba-tiba becak lewat di depan kami. “Pak, nganggur ora,” teriak si petugas parkir. Becak tersebut kemudian berhenti dan melipir ke arah kami sambil melanturkan bahasa Jawa yang gue nggak paham. Seandainya ini film bajakan, subtitlenya nggak ada. Setelah negosiasi selama beberapa menit, jadilah gue dan Ibu naik becak untuk ke Sumber Bestik. “20 ribu aja mbak,” kata Pak Gofur si tukang becak.
Bisa makan di tempat, bisa juga pesan melalui Go-Food |
Ada tempat makan tenda, ada juga yang di dalam |
Yum, what to choose! |
Sumber Bestik itu tempat makan. Makanannya macem-macem, tapi yang jadi incaran kami adalah Bistik Lidah Sapinya. Dari Omah Sinten ke Sumber Bestik nggak terlalu jauh, kurang lebih 15 menitan lah, tapi itu kalau Sumber Bestik cabang yang dikelola anaknya - maksudnya tuh, anaknya si Bapak yang empunya Sumber Bestik itu. Tempatnya kecil dan nggak seramai cabang utamanya yang terletak di Jalan Honggowongso. Tempat gue dan Ibu makan adalah Sumber Bestik yang dikelola oleh Bapaknya. Memang lebih besar dan lebih ramai, meskipun tetap ada pengamen yang mengamen pakai cello.
"Dari mana, Mbaknya," tanya si Bapak kaos hitam |
Mutual game strong: yang satu masak, yang satu nyidukin bumbu |
Penampakan lidah sapi mentah yang, sesungguhnya, nggak menggugah selera |
Bestik Dadar Lidah, Cap Cay Ayam Goreng, Resoles Kering, dan Kulit Goreng adalah menu makan malam kami. Ibu minum Jeruk Hangat, sementara gue menetap dengan Teh Tawar Panas. Sebenernya pingin minum Es Teh Manis, atau apapun minuman dingin, segar, dan berasa, tapi apa daya adik sedang diet. Eh, gue berhasil nurunin 4 kilo lho dua bulan belakang ini. Hebat, nggak?
Asli, ya, bukan karena gue kelaparan atau apa, tapi makanan di Warung Makan “Sumber Bestik” Pak Darmo ini cocok banget di lidah. Enak banget, gurih, berasa bumbu dan mecinnya, nendang, dan selesai makan langsung kenyang bego.
Bestik Dadar Lidah itu adalah potongan lidah sapi yang didadar dengan telur, kemudian dimasak dengan bumbu bestiknya (entah apa, bukan gue kokinya), dilengkapi dengan potongan-potongan wortel, dan disajikan panas-panas. Enak banget, pemirsa. Bumbunya itu sudah pasti pakai kecap karena manis-manis gurih gimana, gitu. Lidah sapinya empuk dan nggak terlalu kenyal. Kadang gue suka geli dengan makanan yang kenyal-kenyal, seperti kikil, lemak, kulit ayam basah, dan sebagainya, tapi lidah sapi yang didadar ini cukup manusiawi dan memang enak rasanya. Nggak sadar gue makannya semangat banget. Pas sudah sadar pun, gue nggak bisa berhenti untuk makan dengan lahap.
Bestik Dadar Lidah |
Sepotong lidah yang ada di dadarnya |
Bestik Dadar Lidah kami santap dengan ditemani Resoles Kering yang isiannya melimpah dan Kulit Goreng yang gurih dan kriuk. Awalnya gue agak ragu ketika Ibu mau pesan Resoles Kering. Hmm, risoles kan kulitnya dari tepung, pikir gue. Tapi ternyata Resoles yang dimaksud di sini adalah telur dadar tipis yang diisi dengan potongan daging cincang dan telur orak-arik. Gue pun sempat berpikir, ah, paling isinya cuma seiprit. Tapi ternyata melimpah banget. Asli itu cuma daging dan telur tok. Rasanya bagaimana? Nggak usah ditanya, gurih, nggak seperti bagaimana risoles seharusnya, agak mirip dengan martabak telur tapi kulitnya nggak renyah. Soal Kulit Gorengnya, nggak ada komentar lain selain enak. Ayolah, siapa yang nggak suka kulit ayam digoreng sampai kriuk, kan?
Lord, have mercy. |
Resoles ala Pak Darmo |
Cap Cay Ayam Gorengnya sempat membuat gue merasa terintimidasi dengan porsinya yang menggunung bak nasi kuli. Isinya potongan sayur, otak-otak, telur rebus yang tercampur dengan kuahnya, dan potongan-potongan daging. Saat gue icip kuahnya, rasanya damai di hati. Ujung-ujungnya habis juga tuh, meskipun otak-otaknya nggak gue sentuh.
Cap Cay Ayam Goreng |
Ada satu titik di mana, saat gue tengah menikmati semua sajian Surakarta itu, kaki gue naik ke kursi. Seketika makan malam gue tambah terasa nikmat.
Masih pagi saat kami selesai menyantap makan malam, sekitar pukul delapan malam. Tapi, meskipun begitu, jalanan sudah mulai sepi. Nggak banyak warga berlalu lalang di daerah tempat kami makan. Di Alun-alun Kidul pun sangat sepi kalau dibandingkan dengan Alun-alun di Jogjakarta. Memang ada beberapa permainan ala pasar malam yang berdiri dengan kokohnya di sekitar pinggiran lapangan, tapi itu pun sepi pengunjung. Ada beberapa anak-anak berlarian di sekitar lapangan. Ada banyak motor-motor yang terparkir rapi, dengan sepasang anak baru gede ngendok di joknya sambil berpelukan dan colek-colekan pipi (nyeh, bikin iri). Ada beberapa ontel-ontel yang tengah dikayuh pengendaranya yang tampaknya handal sekali dalam melakukan banyak aktivitas dalam sekali waktu: mengayuh dan mengambil selfie.
Mancing mania, mantap! |
Salah satu permainan yang paling brilian yang pernah gue lihat |
Akhir hari pertama kami di Solo kami akhiri dengan semangkuk Wedang Ronde di trotoar Alun-alun Kidul. Jahenya hangat, kacangnya gurih, kolang-kalingnya nyisa di mulut.
Selain Pak Kumis, ada juga kok pedagang Wedang Ronde lainnya |
Halo, sayangku |
Warung Makan "Sumber Bestik" Pak Darmo - Cabang Bapak
Pinggir Jalan Honggowongso, No. 92
Kota Surakarta
Warung Makan "Sumber Bestik" Pak Darmo - Cabang Anak
Pinggir Jalan Dr. Rajiman, No. 209
Kota Surakarta
Wedang Ronde Pak Kumis
Alun-alun Kidul, Solo
Kota Surakarta
No comments:
Post a Comment