Hari ketiga gue di Bangkok, gue awali dengan perjalanan singkat dari kasur ke kamar mandi dan meninggalkan oleh-oleh hasil gue menjajahi banyak pedagang asongan di hari pertama dan hari kedua. Ah, perut pun terasa ringan. Makin banyak ruangan yang bisa dijejelin dengan kunyahan-kunyahan nikmat dari Negeri Gajah Putih ini.
Pagi itu, kami bertiga bangun nggak terlalu pagi. Setelah melakukan rutinitas biasa seperti melek, ngucek mata, sempoyongan ngambil handuk dan ke kamar mandi untuk siap-siap, ngecheck hp dan laptop sebentar manatau ada notification dari ehem-uhuk-pura-pura-batuk, gue memastikan bahwa pretelan untuk jalan-jalan hari ini sudah tersimpan dengan rapih di dalam tote bag yang lagi seneng-senengnya gue pakai karena itu asli buatan Ibu gue. Nggak lupa gue memakai topi yang gue beli di pesawat dalam perjalanan gue dari Jakarta ke Doha beberapa tahun yang lalu, kami bertiga beranjak ke lobby untuk menunggu dijemput salah seorang sahabat Bapak.
Namanya Oom Anton. Beliau sudah lama tinggal di Bangkok, Thailand. Hari itu, rencana kami adalah untuk mengunjungi salah satu pasar apung terkenal di nergara ini, yang letaknya satu setengah jam perjalanan dari hotel kami. Gue lupa nama tempatnya apa, kalau nggak salah ada di vlog gue, kalau salah kalian bisa cari sendiri di Google, nggak apa-apa, ya?
Yang jelas perut harus keisi sebelum memulai perjalanan jauh, jadinya kami berempat langsung tancap gas ke mall yang letaknya hanya sejauh perjalanan menggunakan shuttle bus yang disediakan hotel dan sarapan di foodcourt tempat gue pertama kali bertemu dengan bencong Thailand penjual Thai Milk Tea. Ingat, bukan diskriminasi.
Menu sarapan gue pagi itu adalah makanan berbasis kerang yang waktu itu Bapak rekomendasikan, yang ternyata namanya adalah Thai Oyster Omelette. Bentuknya lucu, seperti crepes gurih dengan taburan kerang matang dan telur acak-acak. Cara pembuatannya pun nggak kalah menarik, yaitu pertama-tama mereka menuangkan campuran antara adonan tepung dan kerang matang diatas penggorengan, kemudian mereka memecahkan telur diatasnya dan diorak-arik sampai matang, sampai akhirnya Thai Oyster Omelette tersebut pun siap disantap dan kita bisa menghiasnya dengan varian topping sesuai selera. Bapak gue doyan banget dengan santapan yang satu ini. Sayangnya, kurang cocok di lidah gue. Alhasil gue menyantap habis potongan babi goreng dan seporsi Mango Sticky Rice untuk sarapan.
Perut kenyang, hati gembira, perjalanan kami dimulai. Nggak banyak yang gue ingat dari perjalanan yang gue tempuh karena gue tidur. Pokoknya pas melek, Bapak dengan semangatnya menepok paha gue sambil bilang, "Nak, ayo, kita udah di pasar apung!".
Nggak banyak yang bisa gue ceritain dari pasar apung tersebut karena, ternyata, kami datangnya kesiangan. Sepi banget, asli. Timing-nya kurang pas. Sudah nggak banyak lagi jejeran perahu yang hilir mudik sepanjang sungai menjajakan jualannya, yang tersisa hanya beberapa dan itupun bisa dihitung menggunakan tangan. Tapi, ya, berhubung udah terlanjut basah, might as well take a dive and enjoy what you can enjoy.
Untungnya masih ada ibu-ibu yang jualan Mango Sticky Rice, jadilah gue menghabiskan 120baht untuk seporsi makanan traditisional khas Thailand ini. Harganya dua kali lebih mahal dari Mango Sticky Rice yang gue beli di Khaosan Road, maklum karena ini adalah tempat wisata. Kalau kalian punya jiwa yang medit, seperti gue, dan nggak kebelet-kebelet amat jajan ketan kuah santan pakai potongan mangga, nggak usah jajan juga nggak apa-apa kok. Duitnya bisa dipakai untuk jajan porsi dobel di Khaosan Road.
Setelah menempuh perjalanan sejauh satu jam lebih hanya untuk leyeh-leyeh di emperan sungai sambil menikmati Mango Sticky Rice, beberapa potong duren, dan sepasang kaleng bir Thailand, kami berempat memutuskan untuk kembali ke kota. Tadinya kami hampir mau ke kawasan istana, tapi toh kalian pun tahu bahwa gedung dan jendela nggak bisa dimakan, akhirnya kami mampir ke sebuah area perbelanjaan yang cukup terkenal bernama Asiatique.
Ibarat pasar malam yang sudah disulap menjadi modern dan terlampau bersih, Asiatique ini dipenuhi dengan berbagai macam wahana-wahana ekstrim dan non-esktrim yang bisa dinikmati adek-adek rewel yang biasa nangis kalau nggak dibeliin es krim duren sama ibunya sampai oom-oom turis asal Amerika yolo yang nggak afdol kalau nggak mencicipi semua hal-hal yang nggak bisa dia temukan di negara asalnya, banyak tempat makan yang menyediakan berbagai macam makanan baik local maupun internasional, kios-kios kecil yang menjual printilan oleh-oleh, bahkan area taman dengan deretan bangku kosongnya yang menghadap ke sungai untuk foto ala-ala.
"Nak, kamu mau naik itu, nggak," tawar Bapak gue sambil menunjuk ke sebuah mesin berbentuk Transformer ecek-ecek seukuran oom-oom bule bongsor, dengan kursi ditengahnya dan controller di masing-masing arm rest. Persetan umur, persetan malu, "Mau, Pak!" gue jawab dengan lantang. Ini lah hasilnya..
Dan, setelah 20 menit berputar-putar tanpa malu di circuit robot Transformers ala-ala tersebut, yang ternyata ada tombol yang bisa dipencet untuk menghasilkan suara "DOR DOR DOR!" sehingga ceritanya kita sedang berada di tengah-tengah invasi robot dan kita harus membunuh setiap robot yang ada di depan mata, gue menghadiahkan diri gue dengan Soft Vanilla Ice Cream with Thai Tea Macaroon seharga Mango Sticky Rice yang gue beli di pasar apung beberapa jam yang lalu. Nggak hanya itu, banyak jajanan lain yang gue lahap sepanjang muter-muter gue di Asiatique dan kenyangnya nggak kerasa karena tadi pagi gue udah setoran.
Malam pun tiba, setelah puas mengisi perut kami dengan jajanan kecil-kecilan, kami kembali ke hotel sebentar untuk menjemput salah satu teman Bapak yang malam itu baru saja mendarat dan diantarkan ke hotel dengan crew shuttle bus. Namanya Oom Caesar, tapi gue biasa memanggil beliau Mas Gemz, in which "gemz" stands for "gembel" but we Indonesian have to shorten it up and add a "z" at the end because we're alay like that.
Our last pit stop for the day was a German restaurant named Tawandang, located at Rama 3 Road. Ini adalah salah satu restoran yang biasa dikunjungi Bapak setiap beliau terbang ke Thailand. Nggak hanya restoran ini menyajikan makanan Jerman, dengan daging babinya yang luar biasa enak dan gurih dan tower-tower bir yang sepertinya lebih tinggi kalau mau dibandingan dengan tower bir salah satu tempat minum-minum asik di Teras Kota bernama Backyard, restoran ini juga menampilkan live show yang seru banget dan sulit untuk nggak ikutan terjun ke dalam keseruan tersebut.
Ada saat dimana saat gue tengah nyemilin Chicken Wings, tiba-tiba gue mendengar lonceng yang keras dari arah belakang gue dan di sana sudah ada barisan para mantan eh- pelayan, dan salah seorang pelayan yang berdiri di barisan paling depan memakai kostum kereta api. Nah lho, pikir gue, mau Conga Line nih. Dan, bener aja, beberapa detik setelah mas-mas berkostum kereta api memberi sinyal kepada DJ untuk memainkan musik, barisan tersebut mulai berjalan mengitari meja-meja pengunjung dan mengajak semuanya untuk bergabung. Pas gue nengok ke samping, Ibu gue sudah hilang. Ternyata beliau sudah jadi salah satu gerbong kereta api..
Pagi itu, kami bertiga bangun nggak terlalu pagi. Setelah melakukan rutinitas biasa seperti melek, ngucek mata, sempoyongan ngambil handuk dan ke kamar mandi untuk siap-siap, ngecheck hp dan laptop sebentar manatau ada notification dari ehem-uhuk-pura-pura-batuk, gue memastikan bahwa pretelan untuk jalan-jalan hari ini sudah tersimpan dengan rapih di dalam tote bag yang lagi seneng-senengnya gue pakai karena itu asli buatan Ibu gue. Nggak lupa gue memakai topi yang gue beli di pesawat dalam perjalanan gue dari Jakarta ke Doha beberapa tahun yang lalu, kami bertiga beranjak ke lobby untuk menunggu dijemput salah seorang sahabat Bapak.
Namanya Oom Anton. Beliau sudah lama tinggal di Bangkok, Thailand. Hari itu, rencana kami adalah untuk mengunjungi salah satu pasar apung terkenal di nergara ini, yang letaknya satu setengah jam perjalanan dari hotel kami. Gue lupa nama tempatnya apa, kalau nggak salah ada di vlog gue, kalau salah kalian bisa cari sendiri di Google, nggak apa-apa, ya?
Yang jelas perut harus keisi sebelum memulai perjalanan jauh, jadinya kami berempat langsung tancap gas ke mall yang letaknya hanya sejauh perjalanan menggunakan shuttle bus yang disediakan hotel dan sarapan di foodcourt tempat gue pertama kali bertemu dengan bencong Thailand penjual Thai Milk Tea. Ingat, bukan diskriminasi.
Menu sarapan gue pagi itu adalah makanan berbasis kerang yang waktu itu Bapak rekomendasikan, yang ternyata namanya adalah Thai Oyster Omelette. Bentuknya lucu, seperti crepes gurih dengan taburan kerang matang dan telur acak-acak. Cara pembuatannya pun nggak kalah menarik, yaitu pertama-tama mereka menuangkan campuran antara adonan tepung dan kerang matang diatas penggorengan, kemudian mereka memecahkan telur diatasnya dan diorak-arik sampai matang, sampai akhirnya Thai Oyster Omelette tersebut pun siap disantap dan kita bisa menghiasnya dengan varian topping sesuai selera. Bapak gue doyan banget dengan santapan yang satu ini. Sayangnya, kurang cocok di lidah gue. Alhasil gue menyantap habis potongan babi goreng dan seporsi Mango Sticky Rice untuk sarapan.
Perut kenyang, hati gembira, perjalanan kami dimulai. Nggak banyak yang gue ingat dari perjalanan yang gue tempuh karena gue tidur. Pokoknya pas melek, Bapak dengan semangatnya menepok paha gue sambil bilang, "Nak, ayo, kita udah di pasar apung!".
Nggak banyak yang bisa gue ceritain dari pasar apung tersebut karena, ternyata, kami datangnya kesiangan. Sepi banget, asli. Timing-nya kurang pas. Sudah nggak banyak lagi jejeran perahu yang hilir mudik sepanjang sungai menjajakan jualannya, yang tersisa hanya beberapa dan itupun bisa dihitung menggunakan tangan. Tapi, ya, berhubung udah terlanjut basah, might as well take a dive and enjoy what you can enjoy.
Untungnya masih ada ibu-ibu yang jualan Mango Sticky Rice, jadilah gue menghabiskan 120baht untuk seporsi makanan traditisional khas Thailand ini. Harganya dua kali lebih mahal dari Mango Sticky Rice yang gue beli di Khaosan Road, maklum karena ini adalah tempat wisata. Kalau kalian punya jiwa yang medit, seperti gue, dan nggak kebelet-kebelet amat jajan ketan kuah santan pakai potongan mangga, nggak usah jajan juga nggak apa-apa kok. Duitnya bisa dipakai untuk jajan porsi dobel di Khaosan Road.
Setelah menempuh perjalanan sejauh satu jam lebih hanya untuk leyeh-leyeh di emperan sungai sambil menikmati Mango Sticky Rice, beberapa potong duren, dan sepasang kaleng bir Thailand, kami berempat memutuskan untuk kembali ke kota. Tadinya kami hampir mau ke kawasan istana, tapi toh kalian pun tahu bahwa gedung dan jendela nggak bisa dimakan, akhirnya kami mampir ke sebuah area perbelanjaan yang cukup terkenal bernama Asiatique.
Ibarat pasar malam yang sudah disulap menjadi modern dan terlampau bersih, Asiatique ini dipenuhi dengan berbagai macam wahana-wahana ekstrim dan non-esktrim yang bisa dinikmati adek-adek rewel yang biasa nangis kalau nggak dibeliin es krim duren sama ibunya sampai oom-oom turis asal Amerika yolo yang nggak afdol kalau nggak mencicipi semua hal-hal yang nggak bisa dia temukan di negara asalnya, banyak tempat makan yang menyediakan berbagai macam makanan baik local maupun internasional, kios-kios kecil yang menjual printilan oleh-oleh, bahkan area taman dengan deretan bangku kosongnya yang menghadap ke sungai untuk foto ala-ala.
"Nak, kamu mau naik itu, nggak," tawar Bapak gue sambil menunjuk ke sebuah mesin berbentuk Transformer ecek-ecek seukuran oom-oom bule bongsor, dengan kursi ditengahnya dan controller di masing-masing arm rest. Persetan umur, persetan malu, "Mau, Pak!" gue jawab dengan lantang. Ini lah hasilnya..
Dan, setelah 20 menit berputar-putar tanpa malu di circuit robot Transformers ala-ala tersebut, yang ternyata ada tombol yang bisa dipencet untuk menghasilkan suara "DOR DOR DOR!" sehingga ceritanya kita sedang berada di tengah-tengah invasi robot dan kita harus membunuh setiap robot yang ada di depan mata, gue menghadiahkan diri gue dengan Soft Vanilla Ice Cream with Thai Tea Macaroon seharga Mango Sticky Rice yang gue beli di pasar apung beberapa jam yang lalu. Nggak hanya itu, banyak jajanan lain yang gue lahap sepanjang muter-muter gue di Asiatique dan kenyangnya nggak kerasa karena tadi pagi gue udah setoran.
Malam pun tiba, setelah puas mengisi perut kami dengan jajanan kecil-kecilan, kami kembali ke hotel sebentar untuk menjemput salah satu teman Bapak yang malam itu baru saja mendarat dan diantarkan ke hotel dengan crew shuttle bus. Namanya Oom Caesar, tapi gue biasa memanggil beliau Mas Gemz, in which "gemz" stands for "gembel" but we Indonesian have to shorten it up and add a "z" at the end because we're alay like that.
Our last pit stop for the day was a German restaurant named Tawandang, located at Rama 3 Road. Ini adalah salah satu restoran yang biasa dikunjungi Bapak setiap beliau terbang ke Thailand. Nggak hanya restoran ini menyajikan makanan Jerman, dengan daging babinya yang luar biasa enak dan gurih dan tower-tower bir yang sepertinya lebih tinggi kalau mau dibandingan dengan tower bir salah satu tempat minum-minum asik di Teras Kota bernama Backyard, restoran ini juga menampilkan live show yang seru banget dan sulit untuk nggak ikutan terjun ke dalam keseruan tersebut.
Ada saat dimana saat gue tengah nyemilin Chicken Wings, tiba-tiba gue mendengar lonceng yang keras dari arah belakang gue dan di sana sudah ada barisan para mantan eh- pelayan, dan salah seorang pelayan yang berdiri di barisan paling depan memakai kostum kereta api. Nah lho, pikir gue, mau Conga Line nih. Dan, bener aja, beberapa detik setelah mas-mas berkostum kereta api memberi sinyal kepada DJ untuk memainkan musik, barisan tersebut mulai berjalan mengitari meja-meja pengunjung dan mengajak semuanya untuk bergabung. Pas gue nengok ke samping, Ibu gue sudah hilang. Ternyata beliau sudah jadi salah satu gerbong kereta api..