Showing posts with label Thailand Cuisine. Show all posts
Showing posts with label Thailand Cuisine. Show all posts

Tuesday, December 27, 2016

Thai Street's Mango Sticky Rice

A few days ago, I finally reunited with my Junior High besties. They go by the name Icha and Dila. The three of us went to Grand Metropolitan Mall to enjoy a new released movie, Rogue One: A Star Wars Story - the movie itself was very enjoyable to watch, despite the fact that I'm not a fan of star wars and that I had difficulties determining who is on which side.

We had lunch at Red Suki, but I didn't take any pictures as we were too busy enjoying ourselves and catching up with each other, so there will not be any blog post about the amazing deep fried shrimp I had at the Japanese retaurant. But, me and Dila stopped by at this Thailand restaurant named Thai Street while we were waiting for Icha to finish her gym session. We were looking for a hangout spot as we wait, and we happen to crossed the restaurant. Dila had never tasted Thailand food before, so I just had to grab her arm and pull her to the colorful dining shack.


Dila was very hesitant towards the dessert that I ordered, which is the Mango Sticky Rice. She had her doubt about how mango would go well with sticky rice topped with coconut milk and sprinkles of sesame seed. I personally like it better if it were drizzled by fried mung bean though.

The presentation of the dessert was simple, colorful, and very appealing. It looked similar to the Mango Sticky Rice that I had during my short vacation to Thailand, which was nice. Unfortunately, they didn't have any Thailand mangoes so they used a local mango named harum manis mango instead.



I have to say, even though the dessert taste different than the authentic one in Thailand, it had this Thailand kick in its' bite. Different taste of coconut milk, even though it was nicely sweet and savory at the same time. Similar tasting in terms of sticky rice, both in its' chewy texture and its' sweet aftertaste. As for the mango, it went well with the sticky rice and the coconut milk despite the fact that it is not a Thailand mango.

Turned out, Dila gave the dessert an approve. It may not be her favorite Thailand dish, as it was her first time having Thailand cuisine ever, but it was okay for her. She ended up finishing the mango.  

Wednesday, November 30, 2016

Best of Bangkok: Day 3

Hari ketiga gue di Bangkok, gue awali dengan perjalanan singkat dari kasur ke kamar mandi dan meninggalkan oleh-oleh hasil gue menjajahi banyak pedagang asongan di hari pertama dan hari kedua. Ah, perut pun terasa ringan. Makin banyak ruangan yang bisa dijejelin dengan kunyahan-kunyahan nikmat dari Negeri Gajah Putih ini.

Pagi itu, kami bertiga bangun nggak terlalu pagi. Setelah melakukan rutinitas biasa seperti melek, ngucek mata, sempoyongan ngambil handuk dan ke kamar mandi untuk siap-siap, ngecheck hp dan laptop sebentar manatau ada notification dari ehem-uhuk-pura-pura-batuk, gue memastikan bahwa pretelan untuk jalan-jalan hari ini sudah tersimpan dengan rapih di dalam tote bag yang lagi seneng-senengnya gue pakai karena itu asli buatan Ibu gue. Nggak lupa gue memakai topi yang gue beli di pesawat dalam perjalanan gue dari Jakarta ke Doha beberapa tahun yang lalu, kami bertiga beranjak ke lobby untuk menunggu dijemput salah seorang sahabat Bapak.

Namanya Oom Anton. Beliau sudah lama tinggal di Bangkok, Thailand. Hari itu, rencana kami adalah untuk mengunjungi salah satu pasar apung terkenal di nergara ini, yang letaknya satu setengah jam perjalanan dari hotel kami. Gue lupa nama tempatnya apa, kalau nggak salah ada di vlog gue, kalau salah kalian bisa cari sendiri di Google, nggak apa-apa, ya?

Yang jelas perut harus keisi sebelum memulai perjalanan jauh, jadinya kami berempat langsung tancap gas ke mall yang letaknya hanya sejauh perjalanan menggunakan shuttle bus yang disediakan hotel dan sarapan di foodcourt tempat gue pertama kali bertemu dengan bencong Thailand penjual Thai Milk Tea. Ingat, bukan diskriminasi.

Menu sarapan gue pagi itu adalah makanan berbasis kerang yang waktu itu Bapak rekomendasikan, yang ternyata namanya adalah Thai Oyster Omelette. Bentuknya lucu, seperti crepes gurih dengan taburan kerang matang dan telur acak-acak. Cara pembuatannya pun nggak kalah menarik, yaitu pertama-tama mereka menuangkan campuran antara adonan tepung dan kerang matang diatas penggorengan, kemudian mereka memecahkan telur diatasnya dan diorak-arik sampai matang, sampai akhirnya Thai Oyster Omelette tersebut pun siap disantap dan kita bisa menghiasnya dengan varian topping sesuai selera. Bapak gue doyan banget dengan santapan yang satu ini. Sayangnya, kurang cocok di lidah gue. Alhasil gue menyantap habis potongan babi goreng dan seporsi Mango Sticky Rice untuk sarapan.



Perut kenyang, hati gembira, perjalanan kami dimulai. Nggak banyak yang gue ingat dari perjalanan yang gue tempuh karena gue tidur. Pokoknya pas melek, Bapak dengan semangatnya menepok paha gue sambil bilang, "Nak, ayo, kita udah di pasar apung!".

Nggak banyak yang bisa gue ceritain dari pasar apung tersebut karena, ternyata, kami datangnya kesiangan. Sepi banget, asli. Timing-nya kurang pas. Sudah nggak banyak lagi jejeran perahu yang hilir mudik sepanjang sungai menjajakan jualannya, yang tersisa hanya beberapa dan itupun bisa dihitung menggunakan tangan. Tapi, ya, berhubung udah terlanjut basah, might as well take a dive and enjoy what you can enjoy. 

Untungnya masih ada ibu-ibu yang jualan Mango Sticky Rice, jadilah gue menghabiskan 120baht untuk seporsi makanan traditisional khas Thailand ini. Harganya dua kali lebih mahal dari Mango Sticky Rice yang gue beli di Khaosan Road, maklum karena ini adalah tempat wisata. Kalau kalian punya jiwa yang medit, seperti gue, dan nggak kebelet-kebelet amat jajan ketan kuah santan pakai potongan mangga, nggak usah jajan juga nggak apa-apa kok. Duitnya bisa dipakai untuk jajan porsi dobel di Khaosan Road.


Setelah menempuh perjalanan sejauh satu jam lebih hanya untuk leyeh-leyeh di emperan sungai sambil menikmati Mango Sticky Rice, beberapa potong duren, dan sepasang kaleng bir Thailand, kami berempat memutuskan untuk kembali ke kota. Tadinya kami hampir mau ke kawasan istana, tapi toh kalian pun tahu bahwa gedung dan jendela nggak bisa dimakan, akhirnya kami mampir ke sebuah area perbelanjaan yang cukup terkenal bernama Asiatique.

Ibarat pasar malam yang sudah disulap menjadi modern dan terlampau bersih, Asiatique ini dipenuhi dengan berbagai macam wahana-wahana ekstrim dan non-esktrim yang bisa dinikmati adek-adek rewel yang biasa nangis kalau nggak dibeliin es krim duren sama ibunya sampai oom-oom turis asal Amerika yolo yang nggak afdol kalau nggak mencicipi semua hal-hal yang nggak bisa dia temukan di negara asalnya, banyak tempat makan yang menyediakan berbagai macam makanan baik local maupun internasional, kios-kios kecil yang menjual printilan oleh-oleh, bahkan area taman dengan deretan bangku kosongnya yang menghadap ke sungai untuk foto ala-ala.

"Nak, kamu mau naik itu, nggak," tawar Bapak gue sambil menunjuk ke sebuah mesin berbentuk Transformer ecek-ecek seukuran oom-oom bule bongsor, dengan kursi ditengahnya dan controller di masing-masing arm rest. Persetan umur, persetan malu, "Mau, Pak!" gue jawab dengan lantang. Ini lah hasilnya..


Dan, setelah 20 menit berputar-putar tanpa malu di circuit robot Transformers ala-ala tersebut, yang ternyata ada tombol yang bisa dipencet untuk menghasilkan suara "DOR DOR DOR!" sehingga ceritanya kita sedang berada di tengah-tengah invasi robot dan kita harus membunuh setiap robot yang ada di depan mata, gue menghadiahkan diri gue dengan Soft Vanilla Ice Cream with Thai Tea Macaroon seharga Mango Sticky Rice yang gue beli di pasar apung beberapa jam yang lalu. Nggak hanya itu, banyak jajanan lain yang gue lahap sepanjang muter-muter gue di Asiatique dan kenyangnya nggak kerasa karena tadi pagi gue udah setoran.


Malam pun tiba, setelah puas mengisi perut kami dengan jajanan kecil-kecilan, kami kembali ke hotel sebentar untuk menjemput salah satu teman Bapak yang malam itu baru saja mendarat dan diantarkan ke hotel dengan crew shuttle bus. Namanya Oom Caesar, tapi gue biasa memanggil beliau Mas Gemz, in which "gemz" stands for "gembel" but we Indonesian have to shorten it up and add a "z" at the end because we're alay like that. 

Our last pit stop for the day was a German restaurant named Tawandang, located at Rama 3 Road. Ini adalah salah satu restoran yang biasa dikunjungi Bapak setiap beliau terbang ke Thailand. Nggak hanya restoran ini menyajikan makanan Jerman, dengan daging babinya yang luar biasa enak dan gurih dan tower-tower bir yang sepertinya lebih tinggi kalau mau dibandingan dengan tower bir salah satu tempat minum-minum asik di Teras Kota bernama Backyard, restoran ini juga menampilkan live show yang seru banget dan sulit untuk nggak ikutan terjun ke dalam keseruan tersebut.





Ada saat dimana saat gue tengah nyemilin Chicken Wings, tiba-tiba gue mendengar lonceng yang keras dari arah belakang gue dan di sana sudah ada barisan para mantan eh- pelayan, dan salah seorang pelayan yang berdiri di barisan paling depan memakai kostum kereta api. Nah lho, pikir gue, mau Conga Line nih. Dan, bener aja, beberapa detik setelah mas-mas berkostum kereta api memberi sinyal kepada DJ untuk memainkan musik, barisan tersebut mulai berjalan mengitari meja-meja pengunjung dan mengajak semuanya untuk bergabung. Pas gue nengok ke samping, Ibu gue sudah hilang. Ternyata beliau sudah jadi salah satu gerbong kereta api..

Saturday, November 26, 2016

Best of Bangkok: Day 2

Saking membahagiakannya hari kedua gue di Bangkok, Thailand, gue lupa banget untuk mengabadikan makanan-makanan yang gue makan, tempat-tempat yang gue kunjungi, dan hal-hal yang gue lakukan dalam foto. Gue full nge-vlog hari itu. Kalian bisa menonton hari kedua gue setelah pengumuman berikut..

"Mohon perhatian anda. Pertujukan film di teater dua belas segera dimulai. Para penonton yang telah memiliki karcis, dipersilahkan memasuki ruangan teater dua belas."

Best of Bangkok: Day 1

Kalian nggak kebayang betapa girangnya gue saat Bapak mendeklarasikan bahwa kami sekeluarga akan liburan ke Bangkok. Akhirnya, setelah sekian lama cuma bisa nontonin video orang-orang makan street food di Bangkok dan modal imajinasi akan rasanya yang entah kayak gimana, gue bisa terjun langsung di antara semua makanan-makanan itu. Nggak ada lagi ngeluh "Eh, ini makanan apa sih kayaknya enak deh" atau "Sumpah ya enak banget itu apaan tau," ke temen barak setelah berjam-jam gue bergulir di account Instagram acak seputar kuliner di Bangkok, Thailand.

Subuh-subuh gue bangun, langsung mandi, dandan minimalis yang penting nggak pucat, put on my airport clothes that I've sorted the night before, masukin barang-barang ke bagasi taksi Blue Bird yang udah di telfon dari sejak Ibu gue bangun, dan berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta. Sesampainya di sana, gue dan Ibu gue langsung check in dan kemudian duduk manis di Starbucks sambil menikmati segelas Green Tea Latte panas, secangkir Cappuccino hangat, dan kombinasi Chicken Omelette Croissant Bun dan Cheese Bagel. Ciamik. "Jangan makan banyak-banyak," kata Ibu gue, "nanti di sana kan kita masih makan lagi, belum di pesawat dapat makanan." Nggak gue gubris seperti biasa, karena gue hidup untuk makan dan makan untuk hidup. Jangan sebut gue Malinkundang.

"Para penumpang yang terhormat," kata mbak-mbak di loudspeaker ruang tunggu, "pintu teater tiga telah dibuka. Para penonton yang telah memiliki karcis dipersilahkan memasuki ruangan teater tiga." Mabok kali, ya.

Beberapa menit setelah pesawat lepas landas, para pramugari Garuda Indonesia segera dengan sigapnya membagikan nampan yang berhiaskan makanan pembuka, utama, dan penutup untuk sarapan kedua gue. Gue menyantap dua potong daging rolade bareng setup sayur dan kentang rebus, seporsi kecil rujak yang manis dan kecutnya nendang banget tapi bikin nagih, beberapa suap kue coklat yang membuat gue berteori mengenai tekstur dari styrofoam, dan dinner roll hangat yang empuk dan gurih ketika dipertemukan dengan olesan unsalted butter dari Anchor.






Setelah kenyang, karena masih ada tiga jam lagi yang harus ditempuh, gue memutuskan untuk nonton film karya anak bangsa, yaitu Battle of Surabaya. Jujur, gue nonton karena ada Reza Rahadian yang menjadi salah satu pengisi suara dari tokoh-tokoh film animasi tersebut. Tapi, makin gue tonton, ternyata filmya bagus, berbobot, dan mendidik. Gue jadi belajar sedikit mengenai sejarah Pertempuran Surabaya setelah enam tahun menolak untuk hatam isi dari buku sejarah yang dibeliin Ibu gue mahal-mahal untuk gue sekolah. Buat kalian yang belum nonton, apalagi buat kalian yang nilai ulangan sejarahnya dulu mepet-mepet kayak gue, gue sangat merekomendasikan film ini.


Finally, after a four hour flight, Mom and I arrived at Suvarnabhumi Airport in Bangkok, Thailand. Sesampainya disana, seperti yang gue perkirakan, gue seperti lagi nonton film-film rom.com Thailand yang biasa gue beli bajakannya di tukang DVD langganan di Bekasi Cyber Park. Gue sama sekali nggak ngerti apa yang mereka omongin. Boro-boro ngerti, kata-kata yang familiar aja nggak ada. Sering gue dengar mereka selalu mengucapkan "kaa", atau "kab" di akhiran kalimat, tapi itu pun gue nggak paham artinya apa. I just can't with language barrier. 

Dengan determinasi tinggi, gue ngekorin Ibu gue yang berjalan menuju tempat pemberhentian taksi. Dalam hati gue menolak keras untuk harus berinteraksi dengan warga lokal manapun, hanya karena gue malu dan nggak pede. Seandainya gue bisa diam dan manut dengan apa yang Ibu gue kerjakan, gue lebih memilih manut, but life doesn't always go the way you want it to be. "Coba kamu tanya gih sama mas-masnya cara naik taksinya gimana," perintah Ibu gue. Layaknya anjing peliharaan, gue nurut. Dan kami pun dapat taksi. Kemudian dianterin ke Golden Palace Hotel yang jauhnya sekitar setengah jam dari airport, dan harus banget kena tipu yang berakhiran harus membayar pak supir taksinya dua kali lipat dari tarif normal. Oke deh, sip.

Sesampainya di hotel, kami disambut dengan Bapak yang lagi ngaso di teras hotel dengan rokok Marlboro Black Menthol-nya. Bertukar pelukan kilat, yang dilanjutkan dengan pertanyaan, "Tadi bayar taksi berapa, Tie," dari Bapak dan dibales dengan, "400baht," oleh Ibu dan dilanjutkan dengan "HAH?!" ala-ala acara televisi Extravaganza yang biasanya diramaikan dengan teriakan-teriakan "Wakwaw!" dan tepuk tangan penonton. "Iya tadi aku udah minta supirnya pake meteran dan dia oke oke aja, tapi terus dia bilang 'traffic traffic more expensive' dan dia minta 400 baht. Kita mau turun, tapi udah keburu jalan taksinya," cerita Ibu gue singkat. Hanya butuh jeda sepersekian detik sebelum Bapak mengakhiri kasus dengan "Ya wes, lah" andalannya yang singkat, padat, dan jelas.

Gue lupa nomor kamar kami berapa dan terletak di lantai berapa, tapi yang gue inget adalah bahwa kamar kami berdekatan dengan kamar lain, yang hanya dibatasi beberapa pintu, yang kata Bapak gue ada hantunya. "Beneran ada hantunya, Pak" gue tanya. "Iya, beneran," balasnya. Ya, gue terima-terima aja, Thailand kan memang terkenal dengan film-film bergenre horornya, yang hantu perempuannya jauh lebih bikin jantung gue ketar-ketir pas nongol daripada hantu perempuan lokal, ehem Tante Kunti. Yang penting bukan di kamar ini aja, pikir gue dalam hati.

Di kamar, gue dan Ibu menyantap potongan daging babi dan seporsi kecil ifumi yang Bapak belikan beberapa jam sebelum kami sampai di mall yang letaknya hanya sepuluh menit perjalanan menggunakan shuttle bus gratis dari hotel. Enak banget, kacau, nggak bohong. Daging babinya dipotong kecil-kecil dan digoreng kering, sampai lemaknya pun udah nggak terlalu kenyal dan agak garing. Bumbu dari daging babi gorengnya ngena banget dilidah, manis, asin, gurih, semuanya nyampur jadi satu. Kuah ifuminya yang kental pun rame banget rasanya, dari gurih, manis, sentilan mecin di sana sini, dan kriuk kriuk segar dari sayurannya. Persetan dengan timbangan badan, pikir gue.

Setelah makan, kami bertiga leyeh-leyeh sebentar. Awalnya gue tiduran di kasur, tapi kemudian insting gue untuk membuka laptop, log in di akun Steam, dan mengklik tombol "Play" untuk DOTA 2 pun tak tertahankan. Jadilah gue main satu match. Kemudian Bapak bersabda, "Kamu jalan-jalan gih nak ke mall naik shuttle bus. Gratis, kok. Shuttle busnya setengah jam sekali mangkal di hotel." Tanpa babibu, gue langsung nyamber tote bag bikinan Ibu gue yang berisikan dompet, kamera, hp, dan power bank, dan segera meluncur ke lobby hotel di ground floor. Beneran langsung cabut, gue sedang tidak menghiperboliskan keadaan hanya karena gue sedang menulis pengalaman gue berlibur di Thailand di blog gue. I literary sprinted thought the hall way, clicked the elevator button to go down, hopped in, hopped out, and sprinted again to the hotel's lobby just to find the shuttle bus that would take me to the hotel was still parked there, waiting for the hotel's guests to fill it full. Petualangan pun dimulai!


Gue lupa blas nama mall-nya apa. Sebelum pergi, Bapak sempat menyarankan untuk gue turun ke food court yang terletak di lantai basement mall tersebut dan makan menu yang sering dia pesan setiap dia ke Bangkok. "Jadi tuh itu kerang dimasak sama telur sama tepung garing. Enak, deh," kata Bapak. Udah gue cari, tapi gue nggak menemukan bentukan dari si kerang telur goreng tepung yang Bapak maksud. Akhirnya gue beralih ke pojokan yang menjual khanom bueang. Apa itu khanom bueang? Basically, it's a super thin crepe-like dessert filled with coconut meringue and egg yolk strips, or golden threads as the locals say. Another style of khanom bueang, it is filled with coconut meringue, shredded coconut, bits of sweet dried shrimp, and chopped spring onion. 



Gue paling suka sama khanom bueang yang manis. Coconut meringue-nya manis dan ringan kayak busa, dan golden threads-nya punya tipikal manis yang nggak bikin mual, meskipun teksturnya mirip karet gelang. Khanom bueang yang manis juga enak, kok, tapi gue nggak begitu doyan dengan udangnya yang meskipun manis tapi agak amis.



Gue sering banget ngeliat makanan ini di publikasikan di Instagram dalam bentuk video dan foto, dan akhirnya gue bisa mencicipinya langsung. No more imagining things, yes!

And what's the point of coming to Thailand but not having an authentic Thai Milk Tea, right? Sudahlah langsung gue samper kios yang menjual berbagai macam varian minuman dengan basic teh dan susu. Gue agak kaget tengah mau memesan Thai Milk Tea gue karena untuk yang pertama kalinya gue bertatap muka dengan bencong Thailand. Bukan diskriminasi! Ingat, bukan diskriminasi! Memang Thailand adalah negara yang terkenal dengan laki-lakinya yang tidak sedikit operasi sana sini untuk menjadi wanita, toh? Ya, sudah. Nah, gue pesanlah itu minuman Thai Milk Tea segelas. Gelasnya tinggi banget by the way, sampai-sampai gelas ukuran venti ala Starbucks pun kalah.

Mantep banget! Rasanya nggak beda jauh degan Thai Milk Tea yang pernah gue minum di Indonesia, tapi yang ini lebih manis dan kerasa banget daun tehnya, nendang yang seakan-akan kalau minuman ini bisa hidup, gue yakin dia bakal ngomong, "WEY GUE THAI MILK TEA ASLI LHO," dengan bahasa Thailand. Sayangnya esnya kebanyakan, jadinya ujung-ujungnya gue nyeruput lelehan es hambar dengan sentilan manis susu kental manis dan pahitnya teh.



Malamnya, gue dan Ibu gue jalan-jalan berdua ke Khaosan Road, jalan raya macam Malioboro yang kanan kirinya nggak kurang dari jajanan, bar, dan kios-kios oleh-oleh. Bapak gue ke mana? Bapak saat itu harus nerbangin pesawat balik ke Doha, Qatar, jadinya nggak bisa ikut jalan-jalan. Beliau baru balik ke Bangkok lagi keeseokan harinya, jadilah gue quality time berdua sama Ibu.

Nah, kembali lagi ke Khaosan Road. Di Khaosan Road itu banyak banget jajanan, atau mungkin kalian lebih kenal dengan istilah street food, yang selama dua puluh satu tahun gue hidup cuma bisa gue tonton di Indovision dan Instagram. Mulai dari Pad Thai, Mango Sticky Rice, serangga goreng, sate-satean, mangga Thailand, durian Thailand, semua ada di Khaosan Road. Yah, mungkin nggak semua, karena seinget gue, gue nggak menemukan makanan yang bernuansa babi malam itu.

Semua makanan yang gue lihat gue beli malam itu. Gue sangat bahagia dengan Mango Sticky Rice asli Thailand perdana gue yang rasanya nggak ada duanya. Potongan mangga Thailand yang manis dipadukan dengan ketan putih kuah santan yang gurih dan manis itu ternyata menciptakan kombinasi rasa yang nggak bisa dikalahin dengan Mango Sticky Rice manapun. Pernah gue makan Mango Sticky Rice di restoran Thailand di Jakarta yang bernama Jittlada dan itu rasanya beda banget. Ibu gue pun, setelah kami pulang dari Bangkok, membawakan Mango Sticky Rice buatan beliau ke barak dan, meskipun enak, rasanya tetap beda dengan Mango Sticky Rice asli Thailand. Ciamik!


Sementara gue sibuk dengan Mango Sticky Rice gue, Ibu gue mampir ke jajanan sebelah yang menjual Pad Thai. Ada banyak penjual Pad Thai malam itu di Khaosan Road, tapi penjual Pad Thai yang kami kunjungi itu banyak banget pembelinya, sampai-sampai pada ngantri. Gue rasa karena si mbak-mbak penjual Pad Thai berbadan kurus berbalut tank top dan apron, dan potongan rambut bob-nya yang centil, menarik perhatian semua turis yang sedang jungkir balik di Khaosan Road malam itu.

Pad Thai itu nggak lebih dan nggak kurang dari mie goreng. Mie goreng yang dilengkapi dengan berbagai macam pilihan lauk dan topping sesuai dengan selera pembelinya. Karena Ibu gue alergi seafood, akhirnya beliau memutuskan untuk membeli Chicken and Egg Pad Thai, yang kemudian dihias lagi dengan taburan kacang, potongan cabai, dan taburan bubuk cabai. Rasanya campur aduk. Meskipun aneh, karena gue nggak pernah seumur-umur makan mie goreng pakai taburan kacang, tapi enak.


Kuliner malam pun gue lanjutkan dengan membeli durian Thailand dengan harga 80 baht seporsinya. Mahal sih, coba deh kalian kali Rp4.000,00, tapi masa udah jauh-jauh ke Thailand nggak makan durian Thailand, kan? Dan ternyata rasanya nggak terlalu manis, meskipun empuk dan harum. Enak sih, tapi mungkin guenya yang nggak ahli milih durian, ya? Yang penting udah nyoba deh, gitu.


Nah, setelah gue selesai melahap durian sendirian, gue mulai merasakan sakit perut kronis yang bikin gue nggak bisa jalan. Gue kekenyangan. Kenyangnya itu kenyang bodoh yang bikin lo bertingkah macem adik tiri Hagrid di Harry Potter bernama Grawp, yang merupakan raksasa bodoh namun polos. Udah aja jalannya ngangkang, mulutnya kebuka sedikit, gerakannya lambat, dan mukanya lelah. "Tie, kenyang," gue bilang, yang kemudian dibalas Ibu gue dengan, "Ya iyalah, makan mulu!"


Tapi, kuliner malam kami nggak terhenti sampai di situ. Gue dan Ibu gue melewati gerobak yang menjual berbagai macam sate dan kami memutuskan untuk membeli satu tusuk masing-masing. Gue dengan jantung ayam gue dan Ibu gue dengan sate ayamnya. Iya, gue suka jantung. Enak, gurih, kenyal-kenyal gimana gitu, dan gue yakin di mata bule kayaknya gue barbar banget bisa-bisanya nyemilin jantung binatang.

Nyemil nyemil nyemil sampai akhirnya kuliner malam gue terhenti di Nutella Crepe pinggir jalan yang gue beli dalam perjalanan pulang ke hotel. There's always room for dessert, you know? Tapi, meskipun begitu, gue pun bingung antara gue memang kuat makan, atau terlampau rakus.


Thursday, November 1, 2012

The Day Angel Turned 18

A quick introduction

The last day of October was fun and wonderful! It was the day when a good buddy of mine named Angel turned 18, and we celebrate it with a small feast and a trip to a haunted house. By "we", I meant me, Icha, Sally, Febby, Ratri, Anty, Evan, Chandra, Riva, Adrian, and Raja. There were a dozen of us, and we spread joy in Jakarta Convention Center and Senayan City as we told the world, "Hey, World, Angel is now 18 years old!"

It was in the middle of the day when I arrived at Fx: Lifestyle Center. Me, Icha, Sally, and Angel decided to meet up at this mall before we go to JCC, or Jakarta Convention Center, to go for a ride in a haunted house. I was the first one to arrive at Fx, and I got nothing to do, so I settled down at a restaurant named Kenny Rogers and ordered myself some appetizer. I didn't feel like eating a whole zebra, so I ordered myself a plate of Coleslaw and a refillable Iced Lemon Tea. 

A plate of Coleslaw costed me Rp18.000,00, while the Iced Lemon Tea costed me Rp20.000,00. Kenny Rogers' version of Coleslaw is a bowl of cut cabbage, carrots, spring onion, lettuce seeds, and purple cabbage, smothered in mayonnaise. I'm a fan of Coleslaw and I really enjoyed the dish because I think the it tasted refreshing and juicy. But, they put too much mayo in the shredded vegetables, and I don't think spring onion is very suitable to be included in the Coleslaw. The whole meal costed me less than Rp50.000,00, thanks to the pricey 10% tax. 

An hour passed, and Icha, Sally, nor Angel hadn't arrived yet. So, I moved to another restaurant, which was Ichiban Sushi, and ordered myself a plate of Tamago Sushi. The sushi palter only consisted of two pieces of Tamago Sushi and it costed me Rp12.500,00. The whole sushi was very sweet and light, and enjoyable, but I tasted better Tamago Sushi before. 

Light meals to start the day

Not long after my sushi plater arrived, Icha and Sally arrived at Fx and joined me for a quick lunch. Sally ordered herself a glass of hot Ocha, while Icha had a plate of Salmon Sushi. We finished our lunch and strolled around the mall until Angel arrives. The birthday girl finished her class at 3PM, and since her college is just a 5-minute-drive to Fx, it didn't take long until she arrived at the lifestyle center. Icha, Sally, and I had prepared a Box of Happiness as a birthday present for Angel, which consisted of things that would definitely make her super happy. One of the things inside the Box of Happiness was a handmade comic of mine, and I was very pleased when I know that Angel was very much entertained with my awesome and epic comic. 

We hopped in to Angel's car and drove to Jakarta Convention Center. She offered us a selection of petite cakes that she got from her college friends. It was Pepenero's cakes and I was very attracted to the cake with blue candle on it. It was a small Tiramisu with coffee-flavored icing sugar as decoration. I took a bite of that creamy cake and it immediately made me feel happy. Yes, cake can make you happy, people, especially if its' a good and delicious cake! The cake was creamy and soft, and it was deliciously filling my stomach. Icha ate the one that has no candle on it and, judging by her cheer, the cake was also delicious.

A box of petite cakes from Angel's college buddies

It didn't take long for us to get to Jakarta Convention Center. There was, and still is, an exhibition at JCC and the place was crowded with swarms of people. Icha, Sally, Angel and I went to JCC for one thing and one thing only, JAKK Incorporated's Dungeon of Demons. Dungeon of Demons, you see, is a haunted house made my JAKK Inc. I got five free tickets from a friend of mine whom I met at Gudang Rottie, Kak Aruga, and I was very excited, yet also terrified, to experience the horror. 

At first, I was going to go inside the haunted house with Icha, followed by Angel and Sally, but Sally and Icha were terrified and decided not to, so, I went in with Angel. The pretend ghosts and ghouls had nice costumes and makeups, which made them look promising. Angel and I were being shouted and shocked by the ghosts inside the Dungeon of Demons. But, it didn't take us five minutes to get out of the terrifying maze, so we decided to go inside one more time.

This time, I paired myself with Icha, while Angel paired herself with Sally. For some reason, during my second visit to the Dungeon of Demons, the ghosts increased from four to seven, and they made me shriek in horror. Icha, on the other hand, covered both of her ears and her arms and accidently sprinted towards a pretend ghost, making me flailed to grab her in terror. But, we survived. "I was scared, yet I was excited because they were playing one of Jigoku Shoujo's soundtrack during our turn, and I saw Kuchisake Onna," said Icha after she got out of the dark labyrinth. 

Hellgate passes to the Dungeon of Demons

The four of us had early dinner at a Thailand restaurant named Jittlada, located in Senayan City. Angel and Sally were the ones who picked the dishes for dinner. We ordered lots of food, such as Pineapple Fried Rice, Spring Rolls, Morning Glory, Pad Thai, Pandan Chicken, Thai Tea, Lime Juice, and Jittlada Surprise. Our table was filled with plates and dinning utensils.

Early dinner feast

Left to right: Iced Thai Tea, Lime Juice, Hot Thai Tea

Icha's Jittlada Surprise

It was a very luxurious dinner, I made sure I scooped every single dishes on the table. There were five different dishes on my plate and all of them tasted deliciously savory. The Pineapple Fried Rice were not sticky, they were savory and a bit oily, and you could taste a hint of shrimp oil in it. The pineapple made the dish rich in flavor because they tasted sweet and sour. Raisins and small shrimps could also be found in the fried rice, and they blended well with the other ingredients. Both Pad Thai, or Thailand Noodle, and Stir-fried Morning Glory was very spicy for my taste, my mouth was on fire, but they were very enjoyable and delectable. 

Pandan Chicken was one of the dish that I ate. It was a deep-fried chicken covered in Pandan Leaf. I didn't know whether or not the leaf could be eaten, so I took a small bite just to make sure. It turned out, the leaf was very crispy and savory, it went well with a spoonful of Pineapple Fried Rice. Angel and Sally were speechless seeing me munching on leafs like a soon-to-be-cocooned caterpillar. "You're not supposed to eat the lead," said Sally. "But it tasted good," I replied, still munching on the crispy edges. 

What I had for dinner

A plate of spicy Pad Thai

A plate of super spicy Stir-fried Morning Glory with Garlic

Three pieces of Pandan Chicken

The savory and sour Pineapple Fried Rice

A plate of Spring Rolls

After we finished our main courses, the waitress came to our table with a tray of dessert. Two plates of Mango Sticky Rice decorated the table and we dig in. I enjoyed the mango with a spoonful of sticky rice coated in coconut milk, the whole traditional dessert was very sweet and flavorful, but I prefer the fruit alone.

Mango Sticky Rice for dessert

Sally, Icha, and I had been planning on a birthday surprise, along with Febby, Anty, Ratri and the other guys. We were going to popped out with a cake at around 7PM, but our friend named Evan was a bit late and we ended up postponing the surprise. It was 8PM and there was still no sign from Evan, so the four of us left Jittlada and strolled around the mall aimlessly. 

I bought some times for the others to prepare the surprise by stopping at every cafe and restaurant on the basement floor. I stopped at some cookie shop, Japanese restaurant, cake shop, ice cream parlor, and didn't bought a single thing. But then I spotted Cold Stones. I got jumpy and excited, and dragged Icha to the ice cream shop and bought myself a cup of ice cream. "Tiramisu Ice Cream with Brownies and Almonds, please," I said to the ice cream man who decorate his face with fake blood because it was Halloween. I paid attention as he mixed the ingredients on an icy table. 

Cold Stone's Ice Cream for second dessert

Scoop them up!

My ice cream tasted sweet and delightful, it would turn a man's frown into a smile! Yes, I was fully aware by the fact that it was actually fattening gelato instead of ice cream.. but, hey, can anybody say "No!" to a second dessert?

A bowl of Tiramisu Ice Cream, with Brownies and Almonds

After getting myself a cup of ice cream, the four of us proceed to a new bakery that originated from Korea named Tous le Jours. "Come on let's go to that new bakery, I want to buy something for my Mom," I said. True, I was planning on buying something for my Mom, but Febby and the others were ready for the surprise and they told us to meet at the new bakery. So, we rode the escalators thrice and pretended to be looking for something inside the bakery. Sally bought herself a glass of Hot Tea, while I bought a slice of Classic Cheese Cake for my Mom. We sat inside the bakery-restaurant, chatting normally as if something was not going to happen. Then, came Febby, Anty, Ratri, Evan, Chandra, Adrian and Raja with a big Blueberry Cheese Cake, and the next thing I know, we were all singing "Happy Birthday" to Angel.

Sally's Hot Tea

SURPRISE!

"Happy 18th Birthday, Angelia"

The surprise was a success! Angel didn't expect that there would be a wolf pack surrounding her and demanding her to blow lit candles on a cake. There were supposed to be two cakes, one is the big Blueberry Cheesecake and the other is a cupcake from Anty. But, Anty accidently dropped her cupcake box and spoiled the Winnie the Pooh cupcake.

Don't forget to make a wish

Anty's spoiled cupcake

The happy girl

Even though we already had dinner, Angel decided to treat us with two buckets of fried chicken, ten glasses of cokes, and a couple of puddings. It was a fun night and I'm thrilled to be able to meet my best buddies again! I ate lots of dishes and beverages and I was certainly full!

A second feast 

Less than a dozen Pepsi and some puddings

A bucket of KFC's Fried Chicken


Kenny Rogers Roasters
Ground Floor
Fx Lifestyle Center
Jl. Sudirman, Jakarta

Ichiban Sushi
Ground Floor
Fx Lifestyle Center
Jl. Sudirman, Jakarta

Jakarta Convention Center
Jalan Stadion Senayan 
10270, Jakarta - Indonesia

Jittlada
Ground Floor, Senayan City
Jalan Asia Afrika, No. 19
Jakarta

Cold Stone
Ground Floor, Senayan City
Jalan Asia Afrika, No. 19
Jakarta

Tous le Jours
Fifth Floor, Senayan City
Jalan Asia Afrika, No. 19
Jakarta

Food Court
Fifth Floor, Senayan City
Jalan Asia Afrika, No. 19
Jakarta