Kalian nggak kebayang betapa girangnya gue saat Bapak mendeklarasikan bahwa kami sekeluarga akan liburan ke Bangkok. Akhirnya, setelah sekian lama cuma bisa nontonin video orang-orang makan street food di Bangkok dan modal imajinasi akan rasanya yang entah kayak gimana, gue bisa terjun langsung di antara semua makanan-makanan itu. Nggak ada lagi ngeluh "Eh, ini makanan apa sih kayaknya enak deh" atau "Sumpah ya enak banget itu apaan tau," ke temen barak setelah berjam-jam gue bergulir di account Instagram acak seputar kuliner di Bangkok, Thailand.
Subuh-subuh gue bangun, langsung mandi, dandan minimalis yang penting nggak pucat, put on my airport clothes that I've sorted the night before, masukin barang-barang ke bagasi taksi Blue Bird yang udah di telfon dari sejak Ibu gue bangun, dan berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta. Sesampainya di sana, gue dan Ibu gue langsung check in dan kemudian duduk manis di Starbucks sambil menikmati segelas Green Tea Latte panas, secangkir Cappuccino hangat, dan kombinasi Chicken Omelette Croissant Bun dan Cheese Bagel. Ciamik. "Jangan makan banyak-banyak," kata Ibu gue, "nanti di sana kan kita masih makan lagi, belum di pesawat dapat makanan." Nggak gue gubris seperti biasa, karena gue hidup untuk makan dan makan untuk hidup. Jangan sebut gue Malinkundang.
"Para penumpang yang terhormat," kata mbak-mbak di loudspeaker ruang tunggu, "pintu teater tiga telah dibuka. Para penonton yang telah memiliki karcis dipersilahkan memasuki ruangan teater tiga." Mabok kali, ya.
Beberapa menit setelah pesawat lepas landas, para pramugari Garuda Indonesia segera dengan sigapnya membagikan nampan yang berhiaskan makanan pembuka, utama, dan penutup untuk sarapan kedua gue. Gue menyantap dua potong daging rolade bareng setup sayur dan kentang rebus, seporsi kecil rujak yang manis dan kecutnya nendang banget tapi bikin nagih, beberapa suap kue coklat yang membuat gue berteori mengenai tekstur dari styrofoam, dan dinner roll hangat yang empuk dan gurih ketika dipertemukan dengan olesan unsalted butter dari Anchor.
Setelah kenyang, karena masih ada tiga jam lagi yang harus ditempuh, gue memutuskan untuk nonton film karya anak bangsa, yaitu Battle of Surabaya. Jujur, gue nonton karena ada Reza Rahadian yang menjadi salah satu pengisi suara dari tokoh-tokoh film animasi tersebut. Tapi, makin gue tonton, ternyata filmya bagus, berbobot, dan mendidik. Gue jadi belajar sedikit mengenai sejarah Pertempuran Surabaya setelah enam tahun menolak untuk hatam isi dari buku sejarah yang dibeliin Ibu gue mahal-mahal untuk gue sekolah. Buat kalian yang belum nonton, apalagi buat kalian yang nilai ulangan sejarahnya dulu mepet-mepet kayak gue, gue sangat merekomendasikan film ini.
Finally, after a four hour flight, Mom and I arrived at Suvarnabhumi Airport in Bangkok, Thailand. Sesampainya disana, seperti yang gue perkirakan, gue seperti lagi nonton film-film rom.com Thailand yang biasa gue beli bajakannya di tukang DVD langganan di Bekasi Cyber Park. Gue sama sekali nggak ngerti apa yang mereka omongin. Boro-boro ngerti, kata-kata yang familiar aja nggak ada. Sering gue dengar mereka selalu mengucapkan "kaa", atau "kab" di akhiran kalimat, tapi itu pun gue nggak paham artinya apa. I just can't with language barrier.
Dengan determinasi tinggi, gue ngekorin Ibu gue yang berjalan menuju tempat pemberhentian taksi. Dalam hati gue menolak keras untuk harus berinteraksi dengan warga lokal manapun, hanya karena gue malu dan nggak pede. Seandainya gue bisa diam dan manut dengan apa yang Ibu gue kerjakan, gue lebih memilih manut, but life doesn't always go the way you want it to be. "Coba kamu tanya gih sama mas-masnya cara naik taksinya gimana," perintah Ibu gue. Layaknya anjing peliharaan, gue nurut. Dan kami pun dapat taksi. Kemudian dianterin ke Golden Palace Hotel yang jauhnya sekitar setengah jam dari airport, dan harus banget kena tipu yang berakhiran harus membayar pak supir taksinya dua kali lipat dari tarif normal. Oke deh, sip.
Sesampainya di hotel, kami disambut dengan Bapak yang lagi ngaso di teras hotel dengan rokok Marlboro Black Menthol-nya. Bertukar pelukan kilat, yang dilanjutkan dengan pertanyaan, "Tadi bayar taksi berapa, Tie," dari Bapak dan dibales dengan, "400baht," oleh Ibu dan dilanjutkan dengan "HAH?!" ala-ala acara televisi Extravaganza yang biasanya diramaikan dengan teriakan-teriakan "Wakwaw!" dan tepuk tangan penonton. "Iya tadi aku udah minta supirnya pake meteran dan dia oke oke aja, tapi terus dia bilang 'traffic traffic more expensive' dan dia minta 400 baht. Kita mau turun, tapi udah keburu jalan taksinya," cerita Ibu gue singkat. Hanya butuh jeda sepersekian detik sebelum Bapak mengakhiri kasus dengan "Ya wes, lah" andalannya yang singkat, padat, dan jelas.
Gue lupa nomor kamar kami berapa dan terletak di lantai berapa, tapi yang gue inget adalah bahwa kamar kami berdekatan dengan kamar lain, yang hanya dibatasi beberapa pintu, yang kata Bapak gue ada hantunya. "Beneran ada hantunya, Pak" gue tanya. "Iya, beneran," balasnya. Ya, gue terima-terima aja, Thailand kan memang terkenal dengan film-film bergenre horornya, yang hantu perempuannya jauh lebih bikin jantung gue ketar-ketir pas nongol daripada hantu perempuan lokal, ehem Tante Kunti. Yang penting bukan di kamar ini aja, pikir gue dalam hati.
Di kamar, gue dan Ibu menyantap potongan daging babi dan seporsi kecil ifumi yang Bapak belikan beberapa jam sebelum kami sampai di mall yang letaknya hanya sepuluh menit perjalanan menggunakan shuttle bus gratis dari hotel. Enak banget, kacau, nggak bohong. Daging babinya dipotong kecil-kecil dan digoreng kering, sampai lemaknya pun udah nggak terlalu kenyal dan agak garing. Bumbu dari daging babi gorengnya ngena banget dilidah, manis, asin, gurih, semuanya nyampur jadi satu. Kuah ifuminya yang kental pun rame banget rasanya, dari gurih, manis, sentilan mecin di sana sini, dan kriuk kriuk segar dari sayurannya. Persetan dengan timbangan badan, pikir gue.
Setelah makan, kami bertiga leyeh-leyeh sebentar. Awalnya gue tiduran di kasur, tapi kemudian insting gue untuk membuka laptop, log in di akun Steam, dan mengklik tombol "Play" untuk DOTA 2 pun tak tertahankan. Jadilah gue main satu match. Kemudian Bapak bersabda, "Kamu jalan-jalan gih nak ke mall naik shuttle bus. Gratis, kok. Shuttle busnya setengah jam sekali mangkal di hotel." Tanpa babibu, gue langsung nyamber tote bag bikinan Ibu gue yang berisikan dompet, kamera, hp, dan power bank, dan segera meluncur ke lobby hotel di ground floor. Beneran langsung cabut, gue sedang tidak menghiperboliskan keadaan hanya karena gue sedang menulis pengalaman gue berlibur di Thailand di blog gue. I literary sprinted thought the hall way, clicked the elevator button to go down, hopped in, hopped out, and sprinted again to the hotel's lobby just to find the shuttle bus that would take me to the hotel was still parked there, waiting for the hotel's guests to fill it full. Petualangan pun dimulai!
Gue lupa blas nama mall-nya apa. Sebelum pergi, Bapak sempat menyarankan untuk gue turun ke food court yang terletak di lantai basement mall tersebut dan makan menu yang sering dia pesan setiap dia ke Bangkok. "Jadi tuh itu kerang dimasak sama telur sama tepung garing. Enak, deh," kata Bapak. Udah gue cari, tapi gue nggak menemukan bentukan dari si kerang telur goreng tepung yang Bapak maksud. Akhirnya gue beralih ke pojokan yang menjual khanom bueang. Apa itu khanom bueang? Basically, it's a super thin crepe-like dessert filled with coconut meringue and egg yolk strips, or golden threads as the locals say. Another style of khanom bueang, it is filled with coconut meringue, shredded coconut, bits of sweet dried shrimp, and chopped spring onion.
Gue paling suka sama khanom bueang yang manis. Coconut meringue-nya manis dan ringan kayak busa, dan golden threads-nya punya tipikal manis yang nggak bikin mual, meskipun teksturnya mirip karet gelang. Khanom bueang yang manis juga enak, kok, tapi gue nggak begitu doyan dengan udangnya yang meskipun manis tapi agak amis.
Gue sering banget ngeliat makanan ini di publikasikan di Instagram dalam bentuk video dan foto, dan akhirnya gue bisa mencicipinya langsung. No more imagining things, yes!
And what's the point of coming to Thailand but not having an authentic Thai Milk Tea, right? Sudahlah langsung gue samper kios yang menjual berbagai macam varian minuman dengan basic teh dan susu. Gue agak kaget tengah mau memesan Thai Milk Tea gue karena untuk yang pertama kalinya gue bertatap muka dengan bencong Thailand. Bukan diskriminasi! Ingat, bukan diskriminasi! Memang Thailand adalah negara yang terkenal dengan laki-lakinya yang tidak sedikit operasi sana sini untuk menjadi wanita, toh? Ya, sudah. Nah, gue pesanlah itu minuman Thai Milk Tea segelas. Gelasnya tinggi banget by the way, sampai-sampai gelas ukuran venti ala Starbucks pun kalah.
Mantep banget! Rasanya nggak beda jauh degan Thai Milk Tea yang pernah gue minum di Indonesia, tapi yang ini lebih manis dan kerasa banget daun tehnya, nendang yang seakan-akan kalau minuman ini bisa hidup, gue yakin dia bakal ngomong, "WEY GUE THAI MILK TEA ASLI LHO," dengan bahasa Thailand. Sayangnya esnya kebanyakan, jadinya ujung-ujungnya gue nyeruput lelehan es hambar dengan sentilan manis susu kental manis dan pahitnya teh.
Malamnya, gue dan Ibu gue jalan-jalan berdua ke Khaosan Road, jalan raya macam Malioboro yang kanan kirinya nggak kurang dari jajanan, bar, dan kios-kios oleh-oleh. Bapak gue ke mana? Bapak saat itu harus nerbangin pesawat balik ke Doha, Qatar, jadinya nggak bisa ikut jalan-jalan. Beliau baru balik ke Bangkok lagi keeseokan harinya, jadilah gue quality time berdua sama Ibu.
Nah, kembali lagi ke Khaosan Road. Di Khaosan Road itu banyak banget jajanan, atau mungkin kalian lebih kenal dengan istilah street food, yang selama dua puluh satu tahun gue hidup cuma bisa gue tonton di Indovision dan Instagram. Mulai dari Pad Thai, Mango Sticky Rice, serangga goreng, sate-satean, mangga Thailand, durian Thailand, semua ada di Khaosan Road. Yah, mungkin nggak semua, karena seinget gue, gue nggak menemukan makanan yang bernuansa babi malam itu.
Semua makanan yang gue lihat gue beli malam itu. Gue sangat bahagia dengan Mango Sticky Rice asli Thailand perdana gue yang rasanya nggak ada duanya. Potongan mangga Thailand yang manis dipadukan dengan ketan putih kuah santan yang gurih dan manis itu ternyata menciptakan kombinasi rasa yang nggak bisa dikalahin dengan Mango Sticky Rice manapun. Pernah gue makan Mango Sticky Rice di restoran Thailand di Jakarta yang bernama Jittlada dan itu rasanya beda banget. Ibu gue pun, setelah kami pulang dari Bangkok, membawakan Mango Sticky Rice buatan beliau ke barak dan, meskipun enak, rasanya tetap beda dengan Mango Sticky Rice asli Thailand. Ciamik!
Sementara gue sibuk dengan Mango Sticky Rice gue, Ibu gue mampir ke jajanan sebelah yang menjual Pad Thai. Ada banyak penjual Pad Thai malam itu di Khaosan Road, tapi penjual Pad Thai yang kami kunjungi itu banyak banget pembelinya, sampai-sampai pada ngantri. Gue rasa karena si mbak-mbak penjual Pad Thai berbadan kurus berbalut tank top dan apron, dan potongan rambut bob-nya yang centil, menarik perhatian semua turis yang sedang jungkir balik di Khaosan Road malam itu.
Pad Thai itu nggak lebih dan nggak kurang dari mie goreng. Mie goreng yang dilengkapi dengan berbagai macam pilihan lauk dan topping sesuai dengan selera pembelinya. Karena Ibu gue alergi seafood, akhirnya beliau memutuskan untuk membeli Chicken and Egg Pad Thai, yang kemudian dihias lagi dengan taburan kacang, potongan cabai, dan taburan bubuk cabai. Rasanya campur aduk. Meskipun aneh, karena gue nggak pernah seumur-umur makan mie goreng pakai taburan kacang, tapi enak.
Kuliner malam pun gue lanjutkan dengan membeli durian Thailand dengan harga 80 baht seporsinya. Mahal sih, coba deh kalian kali Rp4.000,00, tapi masa udah jauh-jauh ke Thailand nggak makan durian Thailand, kan? Dan ternyata rasanya nggak terlalu manis, meskipun empuk dan harum. Enak sih, tapi mungkin guenya yang nggak ahli milih durian, ya? Yang penting udah nyoba deh, gitu.
Nah, setelah gue selesai melahap durian sendirian, gue mulai merasakan sakit perut kronis yang bikin gue nggak bisa jalan. Gue kekenyangan. Kenyangnya itu kenyang bodoh yang bikin lo bertingkah macem adik tiri Hagrid di Harry Potter bernama Grawp, yang merupakan raksasa bodoh namun polos. Udah aja jalannya ngangkang, mulutnya kebuka sedikit, gerakannya lambat, dan mukanya lelah. "Tie, kenyang," gue bilang, yang kemudian dibalas Ibu gue dengan, "Ya iyalah, makan mulu!"
Tapi, kuliner malam kami nggak terhenti sampai di situ. Gue dan Ibu gue melewati gerobak yang menjual berbagai macam sate dan kami memutuskan untuk membeli satu tusuk masing-masing. Gue dengan jantung ayam gue dan Ibu gue dengan sate ayamnya. Iya, gue suka jantung. Enak, gurih, kenyal-kenyal gimana gitu, dan gue yakin di mata bule kayaknya gue barbar banget bisa-bisanya nyemilin jantung binatang.
Nyemil nyemil nyemil sampai akhirnya kuliner malam gue terhenti di Nutella Crepe pinggir jalan yang gue beli dalam perjalanan pulang ke hotel. There's always room for dessert, you know? Tapi, meskipun begitu, gue pun bingung antara gue memang kuat makan, atau terlampau rakus.
Subuh-subuh gue bangun, langsung mandi, dandan minimalis yang penting nggak pucat, put on my airport clothes that I've sorted the night before, masukin barang-barang ke bagasi taksi Blue Bird yang udah di telfon dari sejak Ibu gue bangun, dan berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta. Sesampainya di sana, gue dan Ibu gue langsung check in dan kemudian duduk manis di Starbucks sambil menikmati segelas Green Tea Latte panas, secangkir Cappuccino hangat, dan kombinasi Chicken Omelette Croissant Bun dan Cheese Bagel. Ciamik. "Jangan makan banyak-banyak," kata Ibu gue, "nanti di sana kan kita masih makan lagi, belum di pesawat dapat makanan." Nggak gue gubris seperti biasa, karena gue hidup untuk makan dan makan untuk hidup. Jangan sebut gue Malinkundang.
"Para penumpang yang terhormat," kata mbak-mbak di loudspeaker ruang tunggu, "pintu teater tiga telah dibuka. Para penonton yang telah memiliki karcis dipersilahkan memasuki ruangan teater tiga." Mabok kali, ya.
Beberapa menit setelah pesawat lepas landas, para pramugari Garuda Indonesia segera dengan sigapnya membagikan nampan yang berhiaskan makanan pembuka, utama, dan penutup untuk sarapan kedua gue. Gue menyantap dua potong daging rolade bareng setup sayur dan kentang rebus, seporsi kecil rujak yang manis dan kecutnya nendang banget tapi bikin nagih, beberapa suap kue coklat yang membuat gue berteori mengenai tekstur dari styrofoam, dan dinner roll hangat yang empuk dan gurih ketika dipertemukan dengan olesan unsalted butter dari Anchor.
Setelah kenyang, karena masih ada tiga jam lagi yang harus ditempuh, gue memutuskan untuk nonton film karya anak bangsa, yaitu Battle of Surabaya. Jujur, gue nonton karena ada Reza Rahadian yang menjadi salah satu pengisi suara dari tokoh-tokoh film animasi tersebut. Tapi, makin gue tonton, ternyata filmya bagus, berbobot, dan mendidik. Gue jadi belajar sedikit mengenai sejarah Pertempuran Surabaya setelah enam tahun menolak untuk hatam isi dari buku sejarah yang dibeliin Ibu gue mahal-mahal untuk gue sekolah. Buat kalian yang belum nonton, apalagi buat kalian yang nilai ulangan sejarahnya dulu mepet-mepet kayak gue, gue sangat merekomendasikan film ini.
Dengan determinasi tinggi, gue ngekorin Ibu gue yang berjalan menuju tempat pemberhentian taksi. Dalam hati gue menolak keras untuk harus berinteraksi dengan warga lokal manapun, hanya karena gue malu dan nggak pede. Seandainya gue bisa diam dan manut dengan apa yang Ibu gue kerjakan, gue lebih memilih manut, but life doesn't always go the way you want it to be. "Coba kamu tanya gih sama mas-masnya cara naik taksinya gimana," perintah Ibu gue. Layaknya anjing peliharaan, gue nurut. Dan kami pun dapat taksi. Kemudian dianterin ke Golden Palace Hotel yang jauhnya sekitar setengah jam dari airport, dan harus banget kena tipu yang berakhiran harus membayar pak supir taksinya dua kali lipat dari tarif normal. Oke deh, sip.
Sesampainya di hotel, kami disambut dengan Bapak yang lagi ngaso di teras hotel dengan rokok Marlboro Black Menthol-nya. Bertukar pelukan kilat, yang dilanjutkan dengan pertanyaan, "Tadi bayar taksi berapa, Tie," dari Bapak dan dibales dengan, "400baht," oleh Ibu dan dilanjutkan dengan "HAH?!" ala-ala acara televisi Extravaganza yang biasanya diramaikan dengan teriakan-teriakan "Wakwaw!" dan tepuk tangan penonton. "Iya tadi aku udah minta supirnya pake meteran dan dia oke oke aja, tapi terus dia bilang 'traffic traffic more expensive' dan dia minta 400 baht. Kita mau turun, tapi udah keburu jalan taksinya," cerita Ibu gue singkat. Hanya butuh jeda sepersekian detik sebelum Bapak mengakhiri kasus dengan "Ya wes, lah" andalannya yang singkat, padat, dan jelas.
Gue lupa nomor kamar kami berapa dan terletak di lantai berapa, tapi yang gue inget adalah bahwa kamar kami berdekatan dengan kamar lain, yang hanya dibatasi beberapa pintu, yang kata Bapak gue ada hantunya. "Beneran ada hantunya, Pak" gue tanya. "Iya, beneran," balasnya. Ya, gue terima-terima aja, Thailand kan memang terkenal dengan film-film bergenre horornya, yang hantu perempuannya jauh lebih bikin jantung gue ketar-ketir pas nongol daripada hantu perempuan lokal, ehem Tante Kunti. Yang penting bukan di kamar ini aja, pikir gue dalam hati.
Di kamar, gue dan Ibu menyantap potongan daging babi dan seporsi kecil ifumi yang Bapak belikan beberapa jam sebelum kami sampai di mall yang letaknya hanya sepuluh menit perjalanan menggunakan shuttle bus gratis dari hotel. Enak banget, kacau, nggak bohong. Daging babinya dipotong kecil-kecil dan digoreng kering, sampai lemaknya pun udah nggak terlalu kenyal dan agak garing. Bumbu dari daging babi gorengnya ngena banget dilidah, manis, asin, gurih, semuanya nyampur jadi satu. Kuah ifuminya yang kental pun rame banget rasanya, dari gurih, manis, sentilan mecin di sana sini, dan kriuk kriuk segar dari sayurannya. Persetan dengan timbangan badan, pikir gue.
Setelah makan, kami bertiga leyeh-leyeh sebentar. Awalnya gue tiduran di kasur, tapi kemudian insting gue untuk membuka laptop, log in di akun Steam, dan mengklik tombol "Play" untuk DOTA 2 pun tak tertahankan. Jadilah gue main satu match. Kemudian Bapak bersabda, "Kamu jalan-jalan gih nak ke mall naik shuttle bus. Gratis, kok. Shuttle busnya setengah jam sekali mangkal di hotel." Tanpa babibu, gue langsung nyamber tote bag bikinan Ibu gue yang berisikan dompet, kamera, hp, dan power bank, dan segera meluncur ke lobby hotel di ground floor. Beneran langsung cabut, gue sedang tidak menghiperboliskan keadaan hanya karena gue sedang menulis pengalaman gue berlibur di Thailand di blog gue. I literary sprinted thought the hall way, clicked the elevator button to go down, hopped in, hopped out, and sprinted again to the hotel's lobby just to find the shuttle bus that would take me to the hotel was still parked there, waiting for the hotel's guests to fill it full. Petualangan pun dimulai!
Gue lupa blas nama mall-nya apa. Sebelum pergi, Bapak sempat menyarankan untuk gue turun ke food court yang terletak di lantai basement mall tersebut dan makan menu yang sering dia pesan setiap dia ke Bangkok. "Jadi tuh itu kerang dimasak sama telur sama tepung garing. Enak, deh," kata Bapak. Udah gue cari, tapi gue nggak menemukan bentukan dari si kerang telur goreng tepung yang Bapak maksud. Akhirnya gue beralih ke pojokan yang menjual khanom bueang. Apa itu khanom bueang? Basically, it's a super thin crepe-like dessert filled with coconut meringue and egg yolk strips, or golden threads as the locals say. Another style of khanom bueang, it is filled with coconut meringue, shredded coconut, bits of sweet dried shrimp, and chopped spring onion.
Gue paling suka sama khanom bueang yang manis. Coconut meringue-nya manis dan ringan kayak busa, dan golden threads-nya punya tipikal manis yang nggak bikin mual, meskipun teksturnya mirip karet gelang. Khanom bueang yang manis juga enak, kok, tapi gue nggak begitu doyan dengan udangnya yang meskipun manis tapi agak amis.
Gue sering banget ngeliat makanan ini di publikasikan di Instagram dalam bentuk video dan foto, dan akhirnya gue bisa mencicipinya langsung. No more imagining things, yes!
And what's the point of coming to Thailand but not having an authentic Thai Milk Tea, right? Sudahlah langsung gue samper kios yang menjual berbagai macam varian minuman dengan basic teh dan susu. Gue agak kaget tengah mau memesan Thai Milk Tea gue karena untuk yang pertama kalinya gue bertatap muka dengan bencong Thailand. Bukan diskriminasi! Ingat, bukan diskriminasi! Memang Thailand adalah negara yang terkenal dengan laki-lakinya yang tidak sedikit operasi sana sini untuk menjadi wanita, toh? Ya, sudah. Nah, gue pesanlah itu minuman Thai Milk Tea segelas. Gelasnya tinggi banget by the way, sampai-sampai gelas ukuran venti ala Starbucks pun kalah.
Mantep banget! Rasanya nggak beda jauh degan Thai Milk Tea yang pernah gue minum di Indonesia, tapi yang ini lebih manis dan kerasa banget daun tehnya, nendang yang seakan-akan kalau minuman ini bisa hidup, gue yakin dia bakal ngomong, "WEY GUE THAI MILK TEA ASLI LHO," dengan bahasa Thailand. Sayangnya esnya kebanyakan, jadinya ujung-ujungnya gue nyeruput lelehan es hambar dengan sentilan manis susu kental manis dan pahitnya teh.
Malamnya, gue dan Ibu gue jalan-jalan berdua ke Khaosan Road, jalan raya macam Malioboro yang kanan kirinya nggak kurang dari jajanan, bar, dan kios-kios oleh-oleh. Bapak gue ke mana? Bapak saat itu harus nerbangin pesawat balik ke Doha, Qatar, jadinya nggak bisa ikut jalan-jalan. Beliau baru balik ke Bangkok lagi keeseokan harinya, jadilah gue quality time berdua sama Ibu.
Nah, kembali lagi ke Khaosan Road. Di Khaosan Road itu banyak banget jajanan, atau mungkin kalian lebih kenal dengan istilah street food, yang selama dua puluh satu tahun gue hidup cuma bisa gue tonton di Indovision dan Instagram. Mulai dari Pad Thai, Mango Sticky Rice, serangga goreng, sate-satean, mangga Thailand, durian Thailand, semua ada di Khaosan Road. Yah, mungkin nggak semua, karena seinget gue, gue nggak menemukan makanan yang bernuansa babi malam itu.
Semua makanan yang gue lihat gue beli malam itu. Gue sangat bahagia dengan Mango Sticky Rice asli Thailand perdana gue yang rasanya nggak ada duanya. Potongan mangga Thailand yang manis dipadukan dengan ketan putih kuah santan yang gurih dan manis itu ternyata menciptakan kombinasi rasa yang nggak bisa dikalahin dengan Mango Sticky Rice manapun. Pernah gue makan Mango Sticky Rice di restoran Thailand di Jakarta yang bernama Jittlada dan itu rasanya beda banget. Ibu gue pun, setelah kami pulang dari Bangkok, membawakan Mango Sticky Rice buatan beliau ke barak dan, meskipun enak, rasanya tetap beda dengan Mango Sticky Rice asli Thailand. Ciamik!
Sementara gue sibuk dengan Mango Sticky Rice gue, Ibu gue mampir ke jajanan sebelah yang menjual Pad Thai. Ada banyak penjual Pad Thai malam itu di Khaosan Road, tapi penjual Pad Thai yang kami kunjungi itu banyak banget pembelinya, sampai-sampai pada ngantri. Gue rasa karena si mbak-mbak penjual Pad Thai berbadan kurus berbalut tank top dan apron, dan potongan rambut bob-nya yang centil, menarik perhatian semua turis yang sedang jungkir balik di Khaosan Road malam itu.
Pad Thai itu nggak lebih dan nggak kurang dari mie goreng. Mie goreng yang dilengkapi dengan berbagai macam pilihan lauk dan topping sesuai dengan selera pembelinya. Karena Ibu gue alergi seafood, akhirnya beliau memutuskan untuk membeli Chicken and Egg Pad Thai, yang kemudian dihias lagi dengan taburan kacang, potongan cabai, dan taburan bubuk cabai. Rasanya campur aduk. Meskipun aneh, karena gue nggak pernah seumur-umur makan mie goreng pakai taburan kacang, tapi enak.
Kuliner malam pun gue lanjutkan dengan membeli durian Thailand dengan harga 80 baht seporsinya. Mahal sih, coba deh kalian kali Rp4.000,00, tapi masa udah jauh-jauh ke Thailand nggak makan durian Thailand, kan? Dan ternyata rasanya nggak terlalu manis, meskipun empuk dan harum. Enak sih, tapi mungkin guenya yang nggak ahli milih durian, ya? Yang penting udah nyoba deh, gitu.
Tapi, kuliner malam kami nggak terhenti sampai di situ. Gue dan Ibu gue melewati gerobak yang menjual berbagai macam sate dan kami memutuskan untuk membeli satu tusuk masing-masing. Gue dengan jantung ayam gue dan Ibu gue dengan sate ayamnya. Iya, gue suka jantung. Enak, gurih, kenyal-kenyal gimana gitu, dan gue yakin di mata bule kayaknya gue barbar banget bisa-bisanya nyemilin jantung binatang.
Nyemil nyemil nyemil sampai akhirnya kuliner malam gue terhenti di Nutella Crepe pinggir jalan yang gue beli dalam perjalanan pulang ke hotel. There's always room for dessert, you know? Tapi, meskipun begitu, gue pun bingung antara gue memang kuat makan, atau terlampau rakus.
No comments:
Post a Comment