RON, atau Remain Over Night, adalah salah satu istilah yang digunakan dalam dunia penerbangan di mana pesawat harus tinggal, atau menginap, di suatu bandara. Istilah ini memang ditujukan khusus untuk pesawat itu sendiri, tapi kadang sering juga digunakan para crew pesawat tersebut karena apabila pesawat mereka menginap, otomatis mereka juga menginap. Di perusahaan tempat gue bekerja nggak ada yang namanya RON karena semua rute kami menuntut pesawat beserta crew untuk langsung kembali pulang ke homebase masing-masing. Jadi, jarang banget gue bisa merasakan fasilitas hotel, beserta ajang sarapan gratisnya, apalagi jalan-jalan keliling kota tempat di mana crew diinapkan seperti crew-crew di maskapai lain. Untungnya, terhitung awal bulan ini, Air Asia membuka rute baru di mana cockpit crew diharuskan RON di Bandung. Setelah gue dengar kabar ini, gue segera menghubungi salah satu rekan kerja untuk saling tukar jadwal terbang kami dan akhirnya impian gue untuk kongkang-kongkang kaki di kamar hotel tanpa keluar uang sepeserpun terwujudkan.
Siang itu, gue beserta seluruh awak pesawat mendarat di Bandung sekitar pukul 12 siang. Meskipun terik, tapi semilir udara sejuk di pelataran pesawat berhasil membuat gue bergidik kedinginan. Maklum, anaknya nggak kuat dingin. Di tas harus selalu sedia sweater dan Antangin. Oh iya, Minyak Kayu Putih juga wajib!
Kami, gue dan kapten, dijemput di bandara oleh salah seorang staf dari hotel di mana kami diinapkan. Perjalanan dari bandara menuju hotel tempat dimana kami diinapkan sebenarnya cukup dekat, namun terhambat karena adanya penutupan di beberapa jalan utama di Bandung. Yang seharusnya adalah perjalanan selama, kurang lebih, 30 menit menjadi dua kali lipat panjangnya.
Nggak seperti biasa, energi gue sepulang terbang hari itu belum terkuras. Mungkin karena tertutup rasa senang dan semangat karena akhirnya bisa ngeRON. Sesampainya gue di hotel, gue segera merapikan barang-barang yang gue bawa, menyempatkan cuci seragam dulu (gue nggak mau laundry karena mahalnya minta ampun! Mending uangnya dipakai untuk gue jajan di Braga), quality time sebentar dengan pacar melalui video call, lalu berangkatlah gue memakai ojek online ke Jalan Braga. Destinasi pertama yang gue tuju adalah Sumber Hidangan.
Sumber Hidangan adalah salah satu tempat kuliner andalan di Kota Bandung di mana kita bisa bernostalgia akan kudapan-kudapan klasik a la tempo doeloe. Tempatnya berlokasikan di Jalan Braga dan terletak di antara beberapa kios yang menjajakan pigura dan lukisan. Sumber Hidangan mengingatkan gue akan Toko Oen di Semarang dan Es Krim Ragusa di Jakarta Pusat karena suasana jadulnya yang masih sangat kental. Santapan yang disajikan di Sumber Hidangan kebanyakan adalah roti dan kue, dan semuanya masih dibuat menggunakan resep yang sama dari sejak tempat makan ini didirikan, yaitu tahun 1929. Sayangnya, saat itu sudah pukul tiga sore, jadi kebanyakan roti dan kue-kue yang disajikan di etalase sudah nggak terlalu beragam. Beruntungnya, gue masih kebagian satu potong roti coklat dan 200 gram kue kastengels yang sudah menjadi incaran gue sedari lama. Karena terlalu bersemangat untuk mencicipi, gue sampai lupa mau mengambil foto kedua kudapan tersebut. Tiba-tiba ludes aja, gitu.
Belum afdol, menurut gue, kalau ke Bandung tapi nggak mencicipi batagor karena, konon kabarnya, batagor khas Kota Bandung nendang-nendang. Niat awal adalah untuk melanjutkan perjalanan dari Sumber Hidangan ke salah satu tempat menyantap batagor yang cukup terkenal di Bandung, yaitu Batagor Kingsley, namun perhatian gue tertangkap oleh satu gerobak ini yang terparkir rapi di salah satu gang sepanjang Jalan Braga saat gue sedang mencari ATM. Awalnya ragu, gue sudah berjalan melalui gerobak batagor tersebut. Sayang, gue terlanjur tergiur dengan tampilan batagor-batagornya yang memikat. “Sepiring sabaraha, kang?” gue tanya dalam Bahasa Sunda yang gue lantunkan bermodalkan mental baja. “Sepuluh ribu, neng,” balas si Akang. Tanpa pikir panjang, gue pesan satu piring, lalu duduk manis persis di sebelah gerobak tersebut, kemudian menunggu sambil melihat proses si Akang menyiapkan batagor pesanan gue.
Batagornya ada dua macam, batagor kulit dan batagor tahu, keduanya dipotong kecil-kecil supaya gue nggak kesusahan menyuapkannya ke dalam mulut. Gue sengaja meminta si Akang untuk memberikan bumbu kacang yang agak banyak karena bumbu kacang tersebut memiliki peran yang penting dalam urusan rasa. Kemudian, ditambah sedikit kecap, tanpa saus sambal, perasan jeruk nipis, dan batagorpun siap disantap.
Sesempurna itu gue sampai kehilangan kata-kata. Kulit batagornya sangat renyah dan adonan tepung yang tergoreng di dalamnya sangat gurih. Tahunya enak dan nggak beraroma langu, dan rasanya nggak terlalu asin dan asam seperti beberapa tahu yang pernah gue cicipi sebelumnya. Bumbu kacangnya manis dan gurih, dan gue sangat suka dengan teksturnya yang lembut namun masih menyimpan potongan kacang di sana-sini. Perasan jeruk nipisnya berhasil menjadi penetralisir antara rasa gurih dan manis yang sangat mendominasi, dan aroma segar dan asamnya pun membuat santapan pinggir jalan ini semakin nikmat. Gue belum pernah mencoba Batagor Kingsley sebelumnya, tapi batagor pinggir jalan ini adalah alternatif menarik yang nggak kalah dari batagor ternama pun. Murah, enak, dan lebih terasa Bandungnya.
Seusai menyantap batagor, gue menyeberangi jalan dan menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke salah satu toko kopi ternama di Jalan Braga, yaitu Kopi Toko Djawa. Sesungguhnya gue sudah pernah mencicipi kopi dari Kopi Toko Djawa sebelumnya saat gue dan sang pacar melakukan perjalanan singkat ke Kota Kembang bulan Febuari lalu dan masih banyak serentetan toko kopi lain yang sama-sama menarik perhatian sepanjang jalan tersebut, tapi sore itu gue sedang tidak ingin berpikir panjang mengenai tempat kopi mana yang harus gue datangi. Gue hanya ingin secangkir kopi hangat dan enak tanpa harus menunggu lama.
Kopi Toko Djawa sedang dipenuhi pelajar-pelajar dan pasangan-pasangan yang sibuk berbincang dan, sesekali, mengambil foto dengan telefon genggam mereka. Sayang, gue hanya seorang diri. Meskipun sudah biasa menjalani hari-hari dengan diri sendiri di Bali, sore itu gue merasa kesepian. Cenderung sedih karena nggak bisa berbagi kue dengan siapa-siapa. Secangkir latte dan sepotong Chocolate Cheese Brownies sudah gue pesan. Dengan bermodalkan Go-Pay, nggak selembar rupiahpun gue keluarkan dari dompet untuk santap cantik sore itu.
Kue yang enak. Teksturnya lembut, namun cukup padat seperti sebagaimana mestinya tekstur dari kue brownies, namun kelembutannya mengingatkan gue akan kue bolu pada umumnya. Adonan keju yang tidak sebanding dengan adonan coklat tenggelam dalam rasa pahit dan manis yang lumayan dominan. Hanya sedikit saja rasa gurih dari keju yang bisa terasa dari satu potong brownies tersebut. Sesekali tergigit butiran kristal dari gula yang nampaknya belum larut secara merata di dalam adonan. Kue ini merupakan pasangan yang tepat untuk secangkir latte yang gue pesan. Rasa manisnya berhasil disapu bersih dengan satu teguk saja, kemudian rasa mual di dalam perut karena dosis gula yang berlebihanpun seketika lenyap.
Sudah cukup puas dengan jalan-jalan sore itu, gue memutuskan untuk kembali ke hotel karena waktu masih terlalu dini untuk gue menyantap makan malam. Lagipula, perut yang sudah terlalu penuh apabila dipaksakan untuk diisi lagi malah tidak akan menjadi nikmat, bukan?
Sang pacar sempat menyarankan gue untuk menyantap makanan khas Sunda di salah satu restoran yang juga menyajikan pengalaman makan a la Sunda, yaitu Rumah Makan Alas Daun. Masih dengan semangat 45, masih dengan mengenakan kombinasi baju yang gue pakai sore tadi, kembali lagi gue mengandalkan ojek online untuk mengunjungi rumah makan tersebut. Terletak di daerah Dago, Rumah Makan Alas Daun adalah salah satu rumah makan di Bandung yang cukup dikenal banyak orang. Makanan disajikan dengan sistem prasmanan dan kita hanya perlu menunjuk makanan apa yang kita mau, kemudian salah seorang staf yang berjaga di balik meja prasmanan tersebut akan mencatat pesanan seraya menempatkan lauk tersebut ke atas nampan yang telah disiapkan untuk kita. Tergantung dari jenis lauknya, beberapa lauk ada yang dipiringkan dan beberapa lauk ada yang ditempatkan beralaskan daun pisang.
Malam itu, gue memutuskan untuk membatalkan batasan dan menyantap nasi. Ya, nasi. Kinan cinta nasi. Nasi yang berhiaskan lauk pauk yang melimpah di kanan kirinya, mulai dari petai goreng, tutut (keong sawah), usus sapi goreng, tumis pare, dan sambal goreng. Nikmat senikmat nikmatnya nikmat. Semua lauk, beserta nasinya, gue santap sampai habis. Tanpa sisa. Mengenai rasa, gue yakin masing-masing dari kalian sudah pernah menyantap makanan rumahan, atau mungkin makanan dari warteg, nah, ini sama saja. Sama-sama dan sama-sama bikin kangen rumah.
Karena sudah larut, gue memutuskan untuk kembali ke hotel untuk istirahat berhubung jadwal terbang esok lumayan pagi. Malam itu dingin. Sangat dingin. Namun badan terasa hangat setelah bermandikan air panas dan meneguk satu cangkir teh hijau. Ketika perut sudah terisi, tidur sudah pasti nyenyak. Kemudian, permainan tunggu menunggupun dimulai. Menunggu pagi datang, sekaligus menunggu jadwal RON Bandung untuk bisa gue nikmati sekali lagi.
Sumber Hidangan
Jalan Braga, No. 20-22
Braga, Bandung - 40111
Opening Hours:
MON - SAT: 9 AM - 4 PM
Contact:
(+62)22 423 6638
Kopi Toko Djawa
Jalan Braga, No. 81
Braga, Bandung - 40111
Opening Hours:
MON - SUN: 10 AM - 10 PM
Rumah Makan Alas Daun
Jalan Citarum, No. 34
Cihapit, Bandung 40116
Opening Hours:
MON - SUN: 10 AM - 10 PM
Contact:
(+62)22 723 1101
Sumber Hidangan
Jalan Braga, No. 20-22
Braga, Bandung - 40111
Opening Hours:
MON - SAT: 9 AM - 4 PM
Contact:
(+62)22 423 6638
Kopi Toko Djawa
Jalan Braga, No. 81
Braga, Bandung - 40111
Opening Hours:
MON - SUN: 10 AM - 10 PM
Rumah Makan Alas Daun
Jalan Citarum, No. 34
Cihapit, Bandung 40116
Opening Hours:
MON - SUN: 10 AM - 10 PM
Contact:
(+62)22 723 1101
No comments:
Post a Comment