Untuk kalian yang sudah akrab dengan hiruk pikuk pengamen, pedagang asongan, penjual minuman dan kenek bus yang sering kali lalu lalang dalam perjalanan pulang dari Bitung ke Bekasi, pasti kalian juga familiar dengan jenis penjual jajanan yang satu ini: pedagang kacang telur dan permen jahe.
Setiap kali gue naik bus, entah itu dalam rute perjalanan apapun, pasti selalu ada penjual jajanan yang satu ini dan yang berjualan itu tidak dikuasai oleh satu kelompok umur: kadang yang berjualan adalah bapak-bapak paruh baya dengan baju lusuh dan rambut yang didominasi warna abu-abu, kadang juga mbak-mbak dengan dempulan bedak yang melebihi inang-inang kondangan dan sepasang anting emas yang mencolok, dan sering kali nggak menutup kemungkinan segerombolan bocah kecil dengan kulit gosong terbakar matahari. Meskipun penjualnya berbeda-beda, tapi mereka mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu kantung plastik transparan berisikan sejumlah besar barang dagangan, yang selalu mereka sangkutkan di pundak.
Penjual jajanan ini memiliki cara yang unik dalam mempromosikan dagangan mereka. Biasanya, mereka berjalan dari bagian depan bus sampai ke bagian belakang dan membagi-bagikan barang dagangan mereka ke pangkuan setiap penumpang bus yang mereka lewati. Hanya ada dua macam makanan yang mereka jual, yaitu kacang telur oven dan permen jahe, tapi kadang ada beberapa pedagang yang menyelipkan bungkusan obat anti mabuk darat dalam dagangan mereka.
Sebagai salah satu masyarakat Jakarta yang kerap kali bergantung dengan jasa transportasi umum yang satu ini, gue selalu membeli setidaknya dua bungkus kacang telur oven setiap ada kesempatan. Dan ini telah menjadi kebiasaan gue setiap gue naik bus jurusan mana saja!
Kebiasaan ini berawal dari saat gue dan ibu gue sedang dalam perjalanan pulang dari Blok M menuju Bekasi setelah terapi tulang rutin gue di Dharmawangsa Square. Kala itu gue baru pertama kali melihat pedagang kacang telur dan permen jahe tersebut, dan otomatis gue penasaran. Gue tergoda untuk membeli sekantung kacang telur oven yang kelihatannya gurih dan menggiurkan itu, tapi gue agak nggak sreg dengan segala macam jajanan yang dijual di angkutan umum karena gue khawatir akan kebersihan makanannya. Entah bagaimana cara pembuatannya, cara pengemasannya, berapa lama masa kadaluarsanya, nggak ada yang tahu kecuali pedagang tersebut. Belum lagi kalau gue melihat jajanan yang diplastikin berembun. Kayaknya, gimana gitu. Tapi kemudian, ibu gue berkata, "Kamu mau beli kacang telur, nggak? Kalau mau, beli aja.". Nggak biasanya ibu gue mengizinkan gue untuk membeli makanan-makanan yang sifatnya kurang jelas seperti ini. Karena kesempatan seperti ini langka, dan ada kemungkinan bahwa ibu gue tahu bahwa kacang telur ini lebih bersih ketimbang seplastik tahu sumedang berwarna coklat terang yang sudah berembun, akhirnya gue memutuskan untuk membeli kacang telur itu.
Awalnya gue agak ragu untuk menyantap kacang tersebut, tapi akhirnya gue memberanikan diri. I mean, what's the worst that can happen, right? Paling-paling gue kena thypus karena makanan itu nggak bersih. Gue robek kantung transparan itu dan menggigit sebutir kacang yang dibalut tepung terigu. Dan, ternyata, rasanya enak dan gurih, dan sampai sekarang gue nggak pernah kena thypus karena memakan kacang itu.
Akhirnya, gue jadi kebiasaan. Setiap kali ada pedagang kacang telur oven dan permen jahe yang berjualan di dalam bus yang gue tumpangi, gue selalu menyisihkan Rp5.000,00 untuk membeli beberapa bungkus. Kadang ada pedagang yang, dengan baiknya, memberikan gue tiga bungkus dengan harga tersebut saat sebungkusnya berharga Rp2.000,00. Disitu gue merasa sangat bahagia! Tapi, biasanya sih, mereka meminta tambahan seribu rupiah dari gue dengan embel-embel "nggak ada kembalian", agar mereka dapat memperoleh keuntungan yang sesuai dengan ekspektasi dagang mereka. But, then again, apalah arti seribu demi sebungkus jajanan favorit?